SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #21

BAB XX ANGIE BECKER

Mengemudikan sedan milik Inspektur Recht dengan kecepatan tinggi. Tadi, sebelum kami bertolak dari Spitzberg, tiba-tiba saja Inspektur Recht mendapat panggilan dari markas. Katanya, ada lagi orang yang melaporkan kasus kehilangan. Begitu mendengar hal itu, aku langsung bergidik.

Jangan-jangan, kasus orang hilang itu terjadi lagi?

Sebelum mendapat panggilan itu, Inspektur Recht sempat menghubungi Inspektur Klaus dan menceritakan semua informasi yang baru saja kami dapatkan dari suster bernama Senta. Inspektur Recht juga langsung memberi komando agar Inspektur Klaus segera memberi tahu anak buahnya untuk mencari informasi tentang semua yang berhubungan dengan Santo Joseph. Pastor yang menghilang, para perawat wanita yang juga entah ke mana, semua anak asuh di sana, semuanya. Juga tak lupa tentang Senta, sang informan yang baru saja kami interogasi.

Aku yakin bahwa perhatian Inspektur Recht langsung teralihkan begitu mendengar ada lagi orang yang melaporkan kasus kehilangan. Aku juga sangat yakin bahwa ia akan lebih memprioritaskan kasus orang hilang itu daripada kasus pembunuhan suster kepala.

Yah, setidaknya, kami sudah menemukan beberapa petunjuk untuk memecahkan kasus pembunuhan berantai itu.

Inspektur Recht mematikan telepon genggamnya. Sejak bertolak dari Spitzberg tadi, telinganya tak lepas dari ponsel. Setelah menghubungi Inspektur Klaus, Inspektur Recht langsung mendapat panggilan dari markas, kemudian ia langsung menelepon beberapa anak buahnya yang lain untuk mencari keterangan tentang orang hilang yang baru saja dilaporkan. Benar-benar sibuk.

Padahal, aku masih ingin membicarakan kasusnya Helga Hildegard.

Apa yang membedakan Helga dan keempat korban lainnya adalah jumlah cambukan. Aku tersadar setelah melihat hasil autopsi melalui foto yang tadi ditunjukkan Inspektur Recht. Meskipun terlihat seperti tak ada bedanya dengan keempat korban yang lain, tapi dari jumlah juga tata letak bekas cambukannya, perbedaan itu bisa terlihat jelas. Tampak seperti si pelaku sedikit ragu untuk menjalankan “aksinya”. Ini bisa dikatakan wajar, karena Helga Hildegard adalah korban pertama si pelaku.

Namun, benarkah karena itu? Bukan karena si pelaku menaruh dendam kepadanya? Dia merasa ragu dan sedikit takut karena orang yang dihadapinya adalah Helga Hildegard, orang yang menjadi alasan hingga dirinya menjadi seorang pembunuh. Orang yang menjadi motif dari pembunuhan berantai yang ia lakukan selama ini.

Aku tahu ini hanyalah spekulasi. Namun, bukan berarti tidak mungkin. Dosa yang dilakukan oleh Helga Hildegard di masa lalu bisa menjadi motif yang kuat untuk seseorang menjadi pembunuh. Yang artinya, si pelaku bisa jadi salah satu dari tujuh orang yang pernah korban asuh di Santo Joseph. Jika memang begitu, kami bisa mempersempit ruang lingkup penyelidikan. Kami hanya tinggal mencari keenam orang sisanya dan memulai interogasi. Tentu, tidak lupa dengan pastor dan para perawat panti yang kini keberadaannya entah di mana.  

Akan kucoba mereka ulang kejadiannya di dalam kepala. Si pelaku yang masih amatir, memiliki dendam kuat terhadap Helga Hildegard. Si pelaku yang pernah disiksa sewaktu kecil membuatnya ingin membalas dendam. Si pelaku menunggu saat yang tepat untuk menjalankan aksinya. Namun, karena ini adalah pembunuhan pertamanya, si pelaku tidak bisa melakukan secara maksimal. Memang, si pelaku berhasil melakukan aksi balas dendam dengan cara yang sama. Mencambuki korban hingga meninggalkan bekas luka yang sama seperti yang diterima si pelaku di masa lampau. Meskipun demikian, si pelaku masih memiliki hati nurani. Si pelaku tak bisa mencambuki Helga Hildegard sampai mati. Oleh sebab itu, si pelaku memilih menancapkan sebuah belati di dada Helga agar bisa langsung membebaskan wanita itu dari rasa sakit.

Untuk pembunuhan kedua sampai seterusnya, si pelaku memilih dengan cara yang sama. Sama-sama mencambuki korban dan menancapkan belati di dadanya. Namun, perbedaannya, si pelaku yang sudah tak lagi merasa ragu ataupun takut, menjalankan aksinya secara brutal. Dari foto keempat korban yang lain, aku bisa melihat betapa banyak bekas cambukan yang terukir di tubuh mereka. Jika aku tak salah mengira, si pelaku kemungkinan besar mencambuki mereka sampai tewas. Mungkin juga, si pelaku sudah mulai terbiasa menjalankan aksinya sehingga bisa berlaku lebih kejam terhadap keempat korbannya yang lain. Jika memang begitu, apa gunanya belati yang ditancapkan si pelaku di dada mereka?

Sepertinya, si pelaku sengaja melakukannya agar kematian keempat korban itu terlihat sama seperti kematian korban pertamanya. Mungkin juga, si pelaku melakukannya hanya karena ingin menunjukkan eksistensinya. Ingin diaku keberadaannya. Si pelaku melakukannya karena memang ingin disebut sebagai si “Pembunuh Berantai”.

Tapi … kenapa Wittenberg?

Jerman ini luas. Masih banyak kawasan lain yang tersambung ke Spitzberg. Namun, kenapa si pelaku malah memilih menyambungkannya ke Wittenberg? Apa si pelaku sengaja memilih Wittenberg untuk menutupi kasusnya dengan kasus lain yang lebih besar? Tapi, untuk apa ditutup-tutupi? Sudah jelas kasus pembunuhan suster kepala sangatlah berbeda dengan dua kasus besar lainnya di sini.

Lihat selengkapnya