SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #22

BAB XXI SI PELAKU

Oleh: Nacht   


“Jangan lagi tiba-tiba menggendongku seperti tadi!” sentak Tuan Muda seraya mengarahkan jari telunjuknya kepadaku.

“Mau bagaimana lagi? Kalau kita tidak meloncat seperti tadi, kita tidak akan bisa masuk. Apalagi dengan tubuh Anda yang sekecil itu,” ujarku seraya memicingkan mata.

“Kau, kan, bisa memberi aba-aba dulu!” tukasnya.

“Terlalu lama jika saya harus menunggu komando Anda,” kilahku. “Kalau saja Anda mau sedikit ‘menambahkan usia’, Anda pasti bisa meloncat sendiri seperti saya,” imbuhku dengan tawa tertahan.

Dia berdecak seraya membuang muka. “Mengesalkan!” umpatnya setengah bergumam.

Ada beberapa pintu yang menjadi akses masuk ke bagian dalam Castle Church. Sayang, semua pintunya terkunci. Untunglah di bagian belakang gedung ada sebuah pintu gerbang yang tidak terlalu tinggi, sehingga membuatku bisa dengan cukup mudah menggendong Tuan Muda dan meloncat melewati pintu tersebut.

Anehnya, meskipun semua gerbang dikunci, pintu masuk yang langsung menghubungkan bagian luar dengan bagian dalam gereja tidak terkunci sama sekali. Bukankah hal itu membuat pengamanan di luar sana terkesan percuma? Untuk apa mengunci pintu gerbang jika pintu masuknya saja dibiarkan tanpa pengamanan seperti ini?

“Apa Anda merasakan sesuatu, Tuan Muda?” tanyaku begitu melihatnya terus berjalan menuju altar.

“Ada sesuatu yang berbeda, Nacht.”

Ucapannya seketika membuatku mengernyit, lantas kembali bertanya, “Maksud Anda?”

“Entahlah.” Dia mengedikkan bahu. “Aku merasakan sesuatu yang aneh.”

Tidak biasanya dia menunjukkan raut wajah cemas. Dia yang sejak tadi terlihat gelisah membuatku semakin merasa tak nyaman.

“Apa Anda merasa tidak enak badan? Apa kita sebaiknya kembali saja?” kataku seraya berjalan mendekatinya.

“Tidak, bukan itu,” tampiknya. “Aku merasa bahwa aku sengaja ditarik ke sini,” imbuhnya yang sontak membuat kerutan di keningku semakin mendalam. “Entahlah. Aku hanya merasa bahwa si Pemanggil Iblis memang menginginkan keberadaanku.”

Apa maksudnya itu? Aku sama sekali tak mengerti.

“Daripada itu, Tuan Muda … apa Anda juga bisa merasakan keberadaan suster bernama Maria itu di sini?” tanyaku sekaligus mencoba mengalihkan perhatiannya. Jujur saja, dia tak cocok menampilkan wajah cemas.

Dia mengangguk. “Ya, aku bisa merasakan keberadaannya,” jawabnya setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan lembut ke udara. Sepertinya dia baru saja mencoba mencium bau tubuh manusia bernama Maria itu.

“Untuk apa dia di sini? Bukankah semuanya sudah pindah ke gedung baru di seberang sana?” Aku bertanya lebih kepada diriku sendiri.

Dia membalikkan tubuh dan menatapku seraya memicingkan mata. “Aku tak peduli alasannya. Yang terpenting, kita bisa menemukan si Pemanggil Iblis,” katanya diakhiri decak kesal.

Sepertinya, kecemasan yang sempat dia rasakan telah memudar. Itu bagus.    

“Tunggu, Tuan Muda!” cegahku seraya menarik lengannya sebelum dia benar-benar mendekati pintu yang terletak tak jauh dari altar.

“Apa lagi?” geramnya.

“Kita tidak tahu ada berapa banyak orang di sini. Ada baiknya jika kita berhati-hati,” ujarku menasihati.

Lagi-lagi dia menampakkan senyum misteriusnya, kemudian berkata, “Kau pikir siapa aku? Aku bisa mengetahui dengan mudah jumlah manusia yang berada di sini sekarang. Jadi, kau tidak perlu khawatir.” Dia menepis tanganku dari lengannya dengan kasar.

Sikapnya yang terlampau percaya diri itu hanya bisa membuatku menghela napas berat. Apa dia tidak pernah mendengar pepatah yang mengatakan, “Kepercayaan diri berlebih hanya akan menjadi senjata mematikan bagi dirimu sendiri?”

Tiba-tiba saja sebuah teriakan yang memekakkan telinga menggema ke seluruh sudut ruangan. Hal itu otomatis membuatku dan Tuan Muda saling berpandangan.

“Tak salah lagi! Itu pasti ulah si Pemanggil Iblis,” katanya seraya menyeringai. “Ini pasti menarik, Nacht.”

Dia menerobos masuk pintu kecil yang terdapat di dekat altar, yang ternyata menghubungkan langsung ke sebuah tangga melingkar. Sepertinya tangga itu menuju langsung ke arah menara.

“Aku bisa merasakannya, Nacht! Mereka ada di atas sana!” serunya bersemangat. Bahkan saking tak sabarnya, dia sampai berlari mendahuluiku. Sepertinya dia ingin cepat-cepat “menjemput” mainan barunya di atas sana. “Akan kujadikan hari ini hari bersejarah,” gumamnya yang kuyakini diiringi senyum puas. 

Yah, dia memang iblis dari segala iblis.

***


“Wah, wah! Ternyata seorang pastor muda yang menjadi si Pemanggil Iblis? Apa Anda tidak malu dengan pakaian liturgi yang Anda pakai?” Tuan Muda menatap pastor muda itu dengan kedua bola mata berbinar sambil menyeringai.

Begitu membuka pintu, kami menemukan seorang pastor muda berpakaian liturgi lengkap yang sedang menggenggam sebuah cambuk di tangan kanannya. Di hadapan pastor muda itu, seorang suster berusia lanjut sedang diikat dan didudukkan di sebuah kursi kayu. Di wajah suster itu terdapat sebuah guratan luka yang masih baru. Dari bentuk lukanya, pasti berasal dari cambuk yang digenggam oleh sang pastor. Tak hanya itu, pakaian sang suster yang telah koyak pun menandakan bahwa pastor muda itu telah beberapa kali melepaskan cambuk ke tubuhnya.

Tuan Muda berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian masih ditemani seringaiannya ia berkata, “Anda sudah melakukan hal yang sangat buruk, Vater.”

Pastor muda itu terus menatap kami. Namun, kali ini ia pun menunjukkan senyum yang sama seperti Tuan Muda.

Apa yang membuatnya tersenyum seperti itu?

“Licht Dunkelheit …. Rambut hitam kemerahan dan bola mata yang juga berwarna hitam segelap malam. Sudah pasti itu kau,” ujar pastor muda itu diiringi senyum sinis. “Aku sudah diberi tahu akan kedatangan tamu istimewa hari ini, tapi aku tak mengira kalau tamu itu adalah seorang anak kecil sepertimu. Terlebih lagi, kau memiliki penampilan yang sangat aneh,” imbuhnya.

“Anda mengenalnya?” tanyaku setengah berbisik di telinga Tuan Muda.

“Tidak,” jawabnya yang kini menunjukkan raut wajah masam. “Saya terkejut Anda mengenal saya, Vater.” Tuan Muda kembali mengalihkan perhatiannya pada pastor muda di depan sana.

“Aku tidak mengenalmu, aku hanya diberi tahu begitu,” timpalnya seraya mendekati suster berusia lanjut yang masih terduduk lemas di kursi yang terletak tak jauh darinya. “Apa kau ingin melihat apa yang akan kulakukan kepadanya?” tanyanya seraya mendekatkan wajah ke wajah sang suster.

Lihat selengkapnya