SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #23

BAB XXII GRUSELIG

“Tuan Muda!” teriakku seraya langsung mendekatinya.

Angin kencang yang tiba-tiba datang dan membuat Tuan Muda meringis sambil memegangi dada yang terlihat seperti kesakitan, membuatku seketika bersikap waspada. Baru kali ini aku melihatnya benar-benar meringis seperti itu.

“Anda tidak apa-apa?” tanyaku seraya memegangi kedua bahunya yang bergetar hebat.

Sesaat sebelum Tuan Muda hendak menjalankan aksinya, tiba-tiba saja angin kencang muncul entah dari mana. Angin itu memundurkan tubuh sang pastor hingga punggungnya membentur ke dinding. Seolah-olah, angin itu sengaja ingin menjauhkan sang pastor dari Tuan Muda.

Tuan Muda mengerang. Ia juga semakin meremas dadanya. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi melihat Tuan Muda yang seperti ini membuatku mau tak mau merasa khawatir. Sementara itu, angin kencang tadi masih belum juga hilang. Seakan-akan hendak meluluhlantakkan tempat ini. Ini benar-benar gawat!

Tiba-tiba saja suara tawa berat terdengar dari arah atap. Tawa itu bercampur aduk dengan suara deru angin yang masih berputar-putar di sekeliling kami. Siapa yang ada di atas sana?

“Aku … tahu aura ini,” ucap Tuan Muda sambil memaksakan diri untuk berdiri. “Aku pernah bertemu dengannya jauh sebelum ini,” imbuhnya yang sontak membuatku mengerutkan kening. “Pantas … nama yang terucap dari mulut pastor itu terdengar tak asing di telingaku.”

Gruselig?

“Kaukah itu, Gruselig?” Pastor muda itu berteriak.

Angin itu tiba-tiba berhenti. Namun, sesosok bayangan hitam yang berkelebat mendekati sang pastor membuat perhatianku seketika teralihkan.

“Kau membiarkan korban terakhirmu begitu saja, Vater?”

Sebuah suara tanpa sosok terdengar dari arah sang pastor. Mungkinkah itu suara dari iblis bernama Gruselig?

“Bukankah sudah kubilang untuk berhati-hati? Licht Dunkelheit bukanlah manusia biasa. Itu pun sudah kukatakan padamu, bukan?”

“Keluar kau!” teriak sang pastor seraya sedikit bergeser dari tempatnya semula.

Tawa berat itu terdengar lagi. Namun, kali ini disertai munculnya sesosok pria dari balik dinding, tempat pastor muda itu berdiri tadi.

Rambutnya perak, kedua bola matanya berwarna merah, sekeliling pupilnya yang seharusnya berwarna putih malah berwarna hitam. Sama seperti kedua bola mata yang dimiliki oleh Kalten. Tidak memerlukan waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa pria berambut perak itu adalah iblis.

“Kau ….” Tuan Muda yang masih meringis mengarahkan tatapan tajamnya kepada iblis berambut perak itu.

Iblis berambut perak itu menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang tajam. “Licht Dunkelheit. Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” katanya bernada antusias. “Terlambat sedikit saja, kau pasti sudah melahap jiwa yang tak seharusnya kau santap.”

Apa maksudnya itu?

“Kau … kau sengaja membuatku datang ke sini, ‘kan?!”

Iblis berambut perak itu tertawa. “Tentu saja. Aku sengaja memancingmu dengan menggunakan si Pemanggil Iblis,” katanya sambil tersenyum licik.

Berarti firasat Tuan Muda tadi benar!

Tuan Muda mendengkuskan tawa. “Kau masih belum juga berubah. Masih suka menggunakan bentuk manusia,” cibirnya seraya menjauhkan tangan dari dadanya yang beberapa detik lalu terlihat sangat kesakitan.

“Wujud asliku tidak boleh dilihat oleh sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu yang dapat melihatnya. Kau tahu maksudku, ‘kan?” Bola matanya yang berwarna merah itu mendelik tajam kepada Tuan Muda.

Tuan Muda lagi-lagi mendengkus. “Kau masih berurusan dengannya? Apa kau tidak malu memiliki pemimpin seperti dia?”

Tunggu, tunggu! Apa yang sedang mereka bicarakan sekarang? Aku benar-benar tak mengerti!

“Hahaha ….” Iblis berambut perak itu kembali tertawa. “Kau tahu, berkat pemimpin seperti dia aku jadi bisa melakukan banyak hal menyenangkan,” sambungnya.

Senyum Tuan Muda mulai kembali. Tampaknya nyeri di dadanya berangsur hilang. Jika tidak, dia tidak akan bisa berdiri tegap seperti sekarang.

“Pemimpin yang tak memiliki kekuatan ‘murni’? Yang benar saja,” cibir Tuan Muda.

“Karena itu aku ingin memberinya kekuatan yang absolut,” timpal iblis berambut perak itu.

“Sudah selesai bincang-bincangnya?” Sang pastor muda menengahi pembicaraan mereka. “Kau sengaja memancingnya ke sini untuk membunuhnya, bukan? Kalau begitu cepat lakukan!” perintahnya kepada sang iblis berambut perak.

“Kau bisa diam tidak?!”

Tiba-tiba saja sang iblis berambut perak itu mengangkat sebelah tangan dan mengarahkannya ke sang pastor. Tanpa sentuhan sedikit pun, sang pastor kontan terpental hingga tubuhnya terjatuh dan membentur lantai.

“Sekali lagi kau tidak bisa diam aku akan menjahit mulutmu itu!” ancamnya. Kemudian iblis berambut perak itu berdeham dan kembali melayangkan tatapan ke Tuan Muda. “Maaf atas gangguannya yang tak menyenangkan,” ucapnya sambil tersenyum.

  “Iblis!” umpat Tuan Muda setengah bergumam. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku sampai-sampai menggunakan cara licik seperti ini?”

“Cara licik?” Iblis berambut perak itu mengernyit. “Ah! Maksudmu menggunakan si Pemanggill Iblis untuk memancingmu keluar, begitu?”

“Kau bisa membuatku keluar tanpa harus menggunakan si Pemanggil Iblis,” timpal Tuan Muda dengan sorot mata tajam.

“Tentu saja bisa. Tapi hasilnya tidak akan semenarik ini, bukan? Lagi pula, kalau aku yang langsung turun tangan, kau pasti akan segera menyadarinya,” jawabnya yang kini melayang-layang di udara. “Aku tak menyangka kalau tubuhmu masih mengingat jelas luka yang pernah kutorehkan di masa lalu. Padahal itu sudah lama sekali.”

“Cerewet!” umpat Tuan Muda diiringi decak kesal.

Iblis berambut perak itu kembali menyeringai. “Hei, Licht! Apa kau benar-benar tak mau ikut bersamaku?”

Tuan Muda kembali mendengkus. “Maksudmu menjadikanku sebagai persembahan Gott der Finsternis?”

Dewa kegelapan?

“Kau pikir aku tidak tahu niat licikmu?” Tuan Muda terkekeh. “Aku tak akan mengorbankan diriku hanya untuk makhluk seperti dia,” lanjutnya yang semakin membuatku tak mengerti.

Ayolah! Siapa itu Gott der Finsternis? Untuk apa dia menginginkan Tuan Muda? Dan ada hubungan apa Tuan Muda dengan iblis bernama Gruselig itu?

Jujur, aku ingin sekali menginterupsi. Namun, aku tahu bahwa aku tidak bisa menjadi bagian dari pembicaraan mereka. Tidak, sampai Tuan Muda menjelaskanku secara rinci tentang isi dari pembicaraannya dengan iblis berambut perak itu.

“Mengorbankan diri untuk ‘orang tersayang’ bukankah itu bagus?” Iblis berambut perak itu memiringkan sedikit kepala.

Tuan Muda terkekeh. “Orang tersayang? Apa kau tidak salah? Makhluk seperti dia kau sebut orang? Dia bukan manusia. Bahkan, juga bukan iblis. Makhluk setengah-setengah seperti dia diragukan eksistensinya.”

Iblis berambut perak itu mendengkus pasrah. “Kau ini memang susah dibujuk,” desahnya. Sambil mendekati pastor muda yang masih tergeletak di atas lantai, ia kembali berkata, “Harus kuingatkan kau untuk tidak melahap jiwa si Pemanggil Iblis. Jiwa mereka sudah terikat dengan iblis yang dipanggilnya. Jika kau nekat, kau sendiri yang akan kesulitan, Licht.”

 “Itu ancaman?” sindir Tuan Muda.

“Kalau kau menganggapnya begitu,” katanya yang kemudian menggendong sang pastor di pundaknya.

“Aku sudah bosan dengan jiwa manusia biasa,” sahut Tuan Muda yang kembali menunjukkan senyum khasnya.

“Kalau kau memillih untuk menjadi musuh dari semua iblis, maka itu keputusanmu,” ucap iblis berambut perak itu yang sekarang kembali melayang-layang di udara. “Ah, iya! Aku yakin kita akan bertemu kembali dalam waktu dekat. Sampai saat itu tiba, persiapkan dirimu untuk jadi persembahan Gott der Finsternis,” imbuhnya seraya menyeringai.

“Sebelum itu terjadi, aku sendiri yang akan menghabisimu.” Tuan Muda kembali bersikap angkuh.

Perkataan Tuan Muda ditanggapi dengan gelak tawa yang menggelegar. “Kau tak punya kemampuan untuk itu, Licht,” katanya.

“Aku memang tidak punya, tapi aku bisa menemukan sebuah cara.”

“Kau mau mencari koloni?” Iblis berambut perak itu bertanya diiringi nada skeptis.

Lihat selengkapnya