Oleh: Nord Adalwen
“Tak kusangka aku kalah dari remaja seperti pelayan Licht Dunkelheit itu,” rengekku seraya menaruh kepala di atas meja. Rasanya benar-benar ingin menangis ketika aku harus menerima kenyataan bahwa aku tak bisa mengejar Volkswagen hitam tadi.
“Aku sendiri tak mengira kalau akan ada orang yang bisa mengalahkan kecepatanmu,” sahut Sam seraya menikmati kopi hitamnya.
Padahal aku sangat yakin dengan kemampuan mengemudiku. Rasanya benar-benar memalukan bisa kalah dari orang yang jauh lebih muda dariku seperti pelayan Licht Dunkelheit itu.
“Jadi, kau dan Inspektur Recht tidak kembali ke kastel itu? Siapa tahu mereka sudah di sana.”
Pertanyaan Sam seketika membuatku kembali menegapkan tubuh. Aku memandangnya lekat-lekat sambil berkata, “Ada sesuatu yang aneh, Sam.”
“Aneh bagaimana?” tanyanya seraya menaikkan sebelah alis mata.
“Kastel itu tiba-tiba menghilang!”
“Hah?! Kau bercanda, kan?”
“Aku serius!” tegasku. “Aku dan Inspektur Recht memang berniat untuk kembali ke kastel itu. Ingin memintai keterangan si Pelayan secara langsung. Tapi setelah kami berputar di jalanan Lutherstadt, kami tak bisa menemukan keberadaan kastel itu di mana pun. Kastel itu seperti lenyap!”
Tawa Sam yang seketika mengudara membuatku kontan merengut. Aku tahu kalau ceritaku ini konyol dan tidak masuk akal, tapi aku sungguh-sungguh. Aku dan Inspektur Recht berputar-putar ke sana kemari. Bahkan, kami pun mengunjungi restoran keluarga yang berada tepat di seberang kastel Licht Dunkelheit. Namun, kastel itu tak tampak. Seperti kataku tadi: lenyap!
“Kalau tak percaya, kau tanyakan sendiri saja kepada Inspektur Recht,” kataku sambil cemberut.
Sam mendengkus; membuang sisa-sisa tawa yang masih menempel di kedua sudut bibirnya. “Kalian mungkin terlalu lelah. Apalagi setelah melakukan penyelidikan seharian kemarin, kan?”
Bisa jadi. Tapi ….
“Aku dan Inspektur Recht tidak mungkin salah! Oke, kau boleh meragukanku. Tapi tidak dengan Inspektur Recht.”
“Inspektur Recht juga manusia. Dia bisa saja melakukan kekeliruan, bukan?”
“Tapi―”
“Kita hentikan ini! Lebih baik kita membahas hal lain yang lebih penting. Aku tak mau berdebat dengan hal-hal di luar nalar,” katanya seraya meletakkan cangkir di atas meja cukup keras.
Aku berdecak. Apa yang dikatakan Sam memang benar. Tak akan ada habisnya jika kami terus berdebat tentang kastel Licht Dunkelheit yang tiba-tiba hilang.
“Aku dengar dari Tim kalau kau dan Inspektur Recht sudah mendapatkan sesuatu di Spitzberg. Sebuah petunjuk?” tanya Sam seperti penasaran.
“Bisa kau bilang begitu. Sebuah petunjuk yang mengarah kepada si pelaku,” sahutku seraya meregangkan tubuh.
“Bukankah itu bagus? Itu artinya, kasus pembunuhan suster kepala sudah menemukan titik terang, ‘kan?”
Aku mengangguk-angguk malas. “Tapi entah kenapa aku merasa ada yang aneh,” kataku seraya kembali mengingat pembicaraanku dengan Senta kemarin.
“Aneh bagaimana?” Kali ini Sam mengernyit.
Kukedikkan bahu tanda tak yakin.
“Ceritakan kepadaku dengan jelas. Jangan setengah-setengah begitu!” desaknya seraya menyenggol bahuku dengan bahunya.
“Senta, suster yang pernah menjadi anak asuh dari Helga Hildegard—”