SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #26

BAB XXV MAYAT TERGANTUNG

Sial! Sial! Sial! Kenapa dia tidak menjawab teleponnya?!

Jangan-jangan, gadis itu sengaja menghindar?! Bisa jadi dia langsung melarikan diri setelah pertemuan kami di Spitzberg tempo lalu!

Argh! Menyebalkan!

Kubanting telepon genggam ke atas tempat tidur dengan geram. Semenjak berada di markas hingga sesampainya di rumah, aku tak berhenti mencoba menghubungi Senta. Namun, tak ada satu pun dari panggilanku yang dijawabnya.

Jangan-jangan, ini nomor palsu?!

Kurebahkan diri di atas tempat tidur sembari mendesah. Kasus yang kupikir akan langsung terpecahkan setelah mendapat keterangan dari Senta, malah berubah menjadi semakin rumit. Entah apa alasannya, Senta memutarbalikkan fakta. Dari sikap dan cara bicaranya waktu itu, ia seperti sengaja menuntun kami untuk lebih mencurigai Alger ketimbang Bannan. Senta bilang, Alger adalah si penyendiri. Alger juga tak seperti Bannan yang lebih bisa mencurahkan rasa sakitnya dengan menangis. Dari percakapan kami waktu itu, sudah jelas sekali bahwa Senta secara terang-terangan “menyuruh” kami agar lebih mencurigai Alger yang seolah memiliki perilaku tak normal.

Kalau memang Senta ingin mengambinghitamkan Alger untuk menutupi dirinya sebagai pelaku yang sesungguhnya …. Tidak, Inspektur Klaus sudah mengatakan kalau Senta memiliki alibi yang sangat kuat. Jadi dia tidak mungkin membunuh kelima suster kepala itu. Kalau begitu, seperti kata Inspektur Klaus, apa yang sebenarnya ingin Senta tutupi? Siapa pelaku sebenarnya dari kasus ini? Mungkinkah Senta sengaja berbohong untuk melindungi pelaku yang sebenarnya?

Argh!

Kuacak-acak rambut dengan kesal. Rasanya aku mulai merasa pesimis bahwa kasus ini bisa cepat terselesaikan. Bahkan, jujur saja aku merasa kalau kasus ini mungkin akan berakhir seperti dua kasus lainnya. Menggantung dan tak terpecahkan.

Seketika aku terkesiap, tepat setelah telepon genggamku tiba-tiba berbunyi dan bergetar. Harapanku yang sempat pergi seketika kembali. Mungkin ini dari Senta!

“Halo …?”

Saking antusiasnya aku sampai lupa mengintip layar untuk sekadar mengetahui siapa si penelepon.

[Aku di depan rumahmu. Cepat keluar!]

Suara tegas dan keras itu seketika membuatku menjauhkan telepon genggam dari telinga. Si penelepon yang tadi kukira adalah Senta ternyata hanya Inspektur Recht. Mengecewakan!

“Ada apa, Inspektur?” tanyaku malas.

Waktu yang sudah menunjukkan pukul 11.15 membuatku bertanya-tanya, untuk apa Inspektur Recht menyuruhku keluar malam-malam begini?

[Kuberi kau waktu lima menit untuk bersiap-siap. Setelah itu, kita sama-sama ke restoran keluarga di Lutherstadt.] Restoran keluarga―yang dulu―di depan kastel Licht Dunkelheit?! [Seorang pastor ditemukan tewas dan tergantung di jendela luar restoran!]

Apa?!

***


Beberapa mobil patroli terparkir di dekat restoran. Sebuah mobil ambulans pun diikutsertakan. Beberapa orang polisi terlihat bergerombol di dekat pintu restoran. Udara dingin dan salju yang turun secara perlahan membuat suasana malam ini semakin mencekam.

“Maaf, Anda tidak boleh menerobos ‘garis kuning’, Tuan.”

Seorang polisi muda menghalangi kami ketika hendak melewati garis kuning yang melintang di sekitar restoran.

Lihat selengkapnya