SANG PELAHAP JIWA

Emma Susanti
Chapter #28

BAB XXVII PENGAKUAN SENTA

“Saya memang telah membohongi kalian,” aku Senta begitu kami memulai inteogasinya. “Sayalah sebenarnya korban penyiksaan Suster Helga,” imbuhnya.

“Kenapa Anda berbohong, Suster?” tanyaku.

“Saya tahu saya telah berdosa. Tapi saya hanya tak ingin keterangan saya menjadi jalan bagi kalian untuk menemukan Bannan dan menjadikannya sebagai tersangka,” tuturnya lirih.

“Itu artinya kau sudah tahu bahwa Bannan adalah orang yang telah membunuh suster-suster kepala itu?” Inspektur Recht bertanya dengan suaranya yang tegas.

Senta menggelengkan kepala. “Saya hanya menduga. Saya tidak benar-benar tahu bahwa Bannan adalah pelaku pembunuhan itu,” jawabnya. “Dugaan saya menguat setelah mengingat kembali apa yang pernah saya bicarakan dengannya setahun yang lalu.”

“Maksud Anda, ketika Anda kembali bertemu dengan Bannan dan Alger di Stendal?” tanyaku memastikan.

Dia mengangguk samar. “Anda pasti sudah mendengarnya dari Alger, bahwa saya dan Bannan pernah saling menyukai sewaktu di Santo Joseph dulu. Setahun yang lalu ketika saya kembali bertemu dengannya, saya terkejut. Saya tak mengira kalau Bannan masih mengenali wajah saya. Padahal wajah saya sudah cukup banyak berubah. Mungkin, karena saat itu saya masih berusia delapan tahun. Usia saya dan Bannan memang berbeda empat tahun. Sama halnya saya dengan Alger.” Dia tersenyum. “Sungguh, saya tidak bermaksud untuk menjadikan Alger sebagai ‘kambing hitam’, Inspektur. Saya hanya bingung saat Anda tiba-tiba ingin menginterogasi saya.”

Sepertinya aku mulai mengerti alasannya berbohong.

“Sebenarnya, Bannan meminta saya untuk menjadi istrinya ….”

“Istri?! Dia, kan, pastor!” pekikku sekaligus menyela.

Senta tersenyum lagi. Lalu mengangguk dan kembali melanjutkan, “Saya tahu. Saya juga terkejut begitu mendengarnya.”

“Lalu?” Inspektur Recht tampaknya diam-diam menunggu kelanjutan ceritanya.

“Tentu saja saya menolak. Saya dan Bannan sudah sama-sama mengucap ‘sumpah’. Kami tidak bisa menikah,” jawabnya diiringi senyum pahit. “Kalau saja saya tidak menceritakannya ….”

“Menceritakan apa?” tanyaku ketika Senta berhenti bercerita.

“Keadaan saya setelah diadopsi.” Senta menghela napas panjang. “Saya juga telah berbohong kepada Anda berdua dengan mengatakan bahwa orang tua angkat saya adalah orang-orang yang sangat baik. Nyatanya, tidak begitu. Sepertinya Suster Helga pun tahu akan hal itu. Makanya dia sengaja membiarkan saya diadopsi oleh mereka. Mereka sama seperti Suster Helga, Inspektur. Sering memukuli dan menyiksa saya. Bahkan, yang mereka lakukan lebih kejam daripada yang Suster Helga lakukan terhadap saya. Kehidupan saya bersama mereka benar-benar seperti di neraka. Saya tak menyangka bahwa Suster Helga akan setega itu membiarkan saya diadopsi oleh orang-orang seperti mereka.”

Jadi itu alasan di balik Senta tidak memanggil mereka dengan sebutan “ayah” dan “ibu” …?

“Di saat saya sudah benar-benar tidak tahan lagi dengan perlakuan mereka, saya memutuskan untuk kabur. Saya terus berlari sejauh yang saya bisa. Sampai akhirnya saya sampai di sebuah gereja yang letaknya tak jauh dari Sekolah Dasar Salzwede. Saya meminta pertolongan kepada seorang pastor di sana. Saya memintanya untuk menyembunyikan saya. Saya juga menceritakan kepadanya keadaan saya yang sesungguhnya. Vater Adne … beliaulah yang membebaskan saya dari penderitaan saya selama ini. Vater Adne membawa saya ke Stendal. Mempertemukan saya dengan teman-teman baru juga para suster yang baik hati. Di sanalah saya mulai berkeinginan untuk menjadi suster, sama seperti suster lainnya. Dan satu tahun lalu, dua bulan sebelum bertemu kembali dengan Bannan, saya memantapkan diri untuk mengucap ‘sumpah’.”

Hidupnya benar-benar penuh dengan penderitaan. Aku kagum dengan caranya untuk tetap bertahan sehingga bisa keluar dari semua penderitaan yang telah dia lalui. Apalagi dengan usianya saat itu. Kau benar-benar hebat, Senta!

“Sayangnya, kisah saya ini tidak diterima dengan baik oleh Bannan. Dia malah beranggapan bahwa saya terpaksa menjalani hidup sebagai seorang suster. Bannan juga berkata bahwa dia akan membalas dendam. Dia bertekad untuk membunuh Suster Helga.”

Inilah awal mula misteri pembunuhan suster kepala ….

“Saya kira itu hanyalah sebuah kekesalan biasa. Tapi, entah kenapa saya tidak bisa benar-benar mengabaikannya begitu saja. Karena itu, saya mencoba mencari tahu di mana keberadaan Suster Helga sekarang. Dan, setelah saya tahu bahwa Suster Helga berada di Spitzberg, saya langsung menemuinya,” jelas Senta diakhiri desahan napas panjang.

Biar kutebak, pasti Helga Hildegard tidak menyambut baik kedatangannya?

Lihat selengkapnya