Oleh: Nord Adalwen
“Hasil autopsinya sudah keluar,” kata Inspektur Berg seraya menghampiriku dan Inspektur Recht yang sedang makan siang di kantin.
“Coba kulihat hasilnya!” desak Inspektur Recht seraya menjulurkan sebelah tangan.
“Kau tak akan menemukan apa pun, Recht,” ucap Inspektur Berg seraya menyerahkan sebundel berkas ke tangan Inspektur Recht. “Korban meninggal tanpa sebab. Tak ada bekas luka penganiayaan, juga tak terdapat zat-zat beracun di dalam tubuh korban. Kemungkinan meninggal karena serangan jantung pun tidak ada.”
“Penyakit lain?” Kuberanikan diri untuk bertanya.
“Tidak ada. Korban dinyatakan seratus persen sehat,” jawab Inspektur Berg. “Benar-benar kematian mendadak dan tanpa sebab. Kalau boleh kukatakan, jiwanya seperti dipaksa keluar. Benar-benar misterius,” sambungnya diiringi helaan napas panjang.
Jiwanya dipaksa keluar? Satu-satunya yang bisa melakukan itu sudah pasti Tuhan, bukan? Atau mungkin … iblis?
Tiba-tiba saja aku teringat pembicaraan kami dan Senta waktu itu. Senta menuturkan bahwa Bannan sempat menyinggung-nyinggung tentang iblis. Bahkan, Bannan sendiri yang mengatakan bahwa dengan bantuan iblis itu dia bisa terhindar dari kejaran pihak kepolisian. Bagaimana jika itu bukanlah sekadar bualan? Bukan sekadar omong kosong belaka?
Jika benar begitu, mungkinkah sang iblis yang telah mencabut nyawanya? Setelah membantu Bannan menjalankan rencananya untuk membunuh Helga Hildegard, iblis itu lantas membunuhnya begitu saja? Sebagai harga atas setiap bantuan yang iblis itu berikan?
Aah … tentu saja itu tidak mungkin.
Sepertinya aku terlalu lelah hingga berpikir yang bukan-bukan. Bekerja setiap hari hampir tanpa libur sama sekali sudah pasti membuat otakku tidak jernih. Kalau Inspektur Recht tahu apa yang baru saja kupikirkan, sudah pasti dia akan meneriaki dan memarahiku habis-habisan.
Yah, mana ada yang namanya iblis.
Salah. Kalaupun iblis itu ada, dia tidak akan turun langsung untuk ikut membantu manusia dalam melakukan tindak kejahatan, bukan? Iblis ada untuk menyesatkan manusia, dan aku yakin tidak perlu sampai bertemu muka.
“Lebih baik kita menghubungi kerabatnya agar bisa langsung dimakamkan secara pantas,” ucap Inspektur Berg yang seketika membuyarkan seluruh lamunanku.
“Dia tak punya siapa-siapa selain para penghuni gereja tempatnya ditugaskan dan beberapa teman ketika dia di Santo Joseph dulu,” sahut Inspektur Recht.
“Kasihan sekali,” sahut Inspektur Berg tanpa nada iba sama sekali.
“Tapi kau benar, Berg. Biar bagaimana pun, si pembunuh berantai itu tetap harus dimakamkan secara layak,” imbuh Inspektur Recht sedikit mengangkat bahu.
Sungguh ironis mengetahui seorang pastor muda bisa berubah 180 derajat dan menjadi seorang pembunuh berantai. Bannan benar-benar sudah terjerumus ke dalam lembah setan. Balas dendam telah membutakan hatinya hingga berani mengambil keputusan yang berbahaya juga merugikan untuk dirinya sendiri. Ibaratnya, kau sudah memiliki satu tiket ke surga secara cuma-cuma, tapi kau dengan senang hati membuang tiket itu dan lebih memilih untuk langsung masuk ke neraka.
Sungguh bodoh, sekaligus menyedihkan.