Matahari di siang akhir musim semi itu bergerak meninggi mengikuti detik waktu yang berputar. Orang-orang keluar dari rumah menyambut hangatnya udara. Membawa serta bayi-bayi pucat yang beberapa bulan ini terkurung dalam dekapan cuaca dingin membeku. Bunga-bunga berebutan keluar dari kuncupnya. Mencecap hangatnya matahari. Memamerkan kecantikan warna kelopaknya. Menebarkan kewangian tubuhnya. Kupu-kupu beterbangan dengan bebas. Melompat dari satu kelopak ke kelopak lainnya. Tidak ada lagi yang tersisa dari musim dingin, kecuali semilir angin yang sesekali membawa gigil menusuk tulang.
Beberapa kafe mulai mengembangkan payungnya, menyediakan tempat bagian luar kedai agar orang bisa lebih leluasa menikmati siraman matahari. Aroma kopi yang wangi memenuhi udara. Mengundang siapa saja yang melintas untuk sekedar duduk dan menyesap nikmatnya secangkir kopi. Dengan gula atau pahit. Sendiri maupun bersama teman-teman.
“Kita akan bergerak cepat dan dapatkan tujuan kita dengan efektif.”
Seorang pria duduk di kursi rotan di bawah payung salah satu kafe di sebuah kawasan kota kuno. Meja di depannya berisi secangkir espresso. Hitam dan pahit. Wajahnya tidak terlihat dari belakang, selain rambut pendeknya yang dicukur rapih, dan postur tubuhnya yang tegap. Gagang kacamata hitamnya menjulur keluar dari telinga. Ia sedang berbicara dengan seseorang di telepon.