Sang Pelancong

Adrian Syahminur
Chapter #2

Kedatangan

Bandara Kastrup, Kopenhagen, Denmark.

Roda belakang pesawat Airbus A350 milik maskapai penerbangan Qatar Airways menjejak ujung landasan 22L dalam sebuah pendaratan yang mulus tanpa hentakan. Mesin terbang itu terlihat seperti seekor elang yang gagah sedang mendarat dengan gerakan yang anggun. Hampir semua penumpang bertepuk tangan memberikan apresiasi kepada pilot yang sudah menerbangkan pesawat dengan selamat. Pilot tersenyum ke co-pilot sambil mengacungkan jempol. Ini adalah penerbangan perdana co-pilot bersama Capt. Abdullah. Dalam penerbangan ini sang kapten telah menyerahkan seluruh prosedur pendaratan untuk dilaksanakan oleh co-pilot. Tentu saja, di bawah pengawasan kapten pilot.

Fikri meregangkan badannya, kemudian melihat ke arah jam tangan. Jarum jam menunjukkan pukul enam. Pukul 18:00 waktu Jakarta. Pasti sudah mulai gelap di sana.

Ia sudah terbang lebih dari 17 jam dari Jakarta. Delapan jam ke Doha – transit sekitar dua jam di sana – kemudian lanjut lagi terbang ke Kopenhagen selama enam jam. Pesawat mendarat di Kopenhagen sesuai jadwal, meskipun perjalanan dari Jakarta terlambat lebih dari satu jam. Keterlambatan yang sangat tidak masuk akal, mengingat pesawat berangkat dari bandara Soekarno-Hatta persis tengah malam. Itu bukan jam padat penerbangan. Entah kenapa, akhir-akhir ini banyak hal yang tidak bisa dipahami di Indonesia.

Para penumpang yang berbahagia, selamat datang di bandara Kastrup, Kopenhagen. Waktu setempat menunjukkan pukul 1 di siang hari, dan waktu di Kopenhagen dua jam lebih lambat dibandingkan waktu di Doha. Mohon agar tetap duduk di tempat Anda sampai pesawat berhenti dengan sempurna. Saat ini Anda sudah diperkenankan mengaktifkan telepon genggam, tetapi mohon agar tetap memperhatikan kenyamanan penumpang yang berada di dekat Anda…

Pramugari memberikan instruksi pasca pendaratan kepada para penumpang melalui interkom dalam bahasa Inggris dan Arab yang sempurna. Tidak tampak aksen tertentu.

Kopenhagen lima jam lebih lambat dibandingkan Jakarta. Fikri memutar jarum jam tangannya, menyesuaikan dengan waktu setempat. Penentuan waktu dunia menggunakan patokan kota Greenwich, kota kecil di dekat London, sebagai titik nol. Dikenal sebagai GMT (Greenwich Mean Time). Garis bujur Kopenhagen terletak di sebelah timur Greenwich pada posisi waktu GMT +2, yang berarti dua jam lebih cepat. Sedangkan Jakarta lebih ke timur pada posisi GMT +7.

Pesawat mulai menepi dari landas pacu, berbelok ke taxiway di sebelah kiri, lalu berjalan mantap menuju apron di Terminal 3. Kastrup bukanlah bandara yang besar dan megah seperti bandara Doha. Dari apron, tampilan luar bandara Kastrup mirip dengan bandara Changi, Singapura. Sederhana tetapi sangat fungsional.

Tidak perlu waktu lama untuk menuju pier C di Terminal 3. Lokasi ini dulunya disiapkan untuk melayani kegiatan pesawat jenis super jumbo Airbus A380 yang bertingkat. Pesawat itu dirancang untuk mengangkut lebih dari lima ratus penumpang, sehingga harus menggunakan 3 unit garbarata sekaligus agar keluar masuk penumpang bisa berlangsung cepat. Dua unit untuk dek bawah, satu unit di dek atas. Bandara Kastrup adalah bandara pertama di kawasan Nordic yang bisa melayani pesawat A380.

Tetapi tuntutan efisiensi di perusahaan penerbangan memaksa mereka mulai mengoperasikan pesawat dengan konsumsi bahan bakar yang lebih ekonomis. Selain itu, pesawat Airbus A380 lebih sering terbang dalam keadaan hampir kosong sehingga menggerus laba perusahaan. Beberapa armada Airbus A380 mulai dikurangi, dan pemesanan armada baru dihentikan, diganti dengan Airbus A350 yang lebih ramping dan ekonomis.

Dengus angin rem hidrolik terdengar ketika roda pesawat berhenti di tempat yang ditentukan. Dua garbarata bergerak perlahan mendekati badan pesawat, dengan ujungnya mengarah ke pintu-pintu pesawat. Sesaat ketika belalai garbarata tersambung dengan sempurna, pramugari membuka pintu setelah mendapat persetujuan dari kapten. Penumpang yang dari tadi sudah bersiap menunggu, bergegas keluar.

Fikri masih duduk di kursinya. Kelas bisnis nomor 2A. Ia selalu mengambil kursi kelas bisnis dalam penerbangan panjang lebih dari lima jam. Setiap habis mendarat, ia sengaja tidak ikut bergegas turun dan memilih tetap duduk menunggu antrian reda sambil melihat kesibukan bandara dari jendela pesawat. Fikri suka sekali melihat kesibukan di apron bandara, sejenak sebelum turun. Di bandara manapun ia mendarat.

Dari jendela tempat duduknya, ia melihat pesawat Boeing 777 Singapore Airlines yang parkir di sebelah. Pesawat itu sedang menjalani proses persiapan terbang. Petugas dengan selang besar sedang mengisi bahan bakar ke tangki di sayap pesawat. Beberapa teknisi berjalan dengan senter di tangan dan melihat dengan cermat bagian-bagian penting pesawat sebagai bagian dari prosedur keselamatan penerbangan. Petugas lain sedang bekerja keras memuat ratusan koper dan barang lainnya ke dalam tempat bagasi di perut pesawat menggunakan konveyor agar pesawat bisa terbang tepat waktu. Sementara di bawah hidung pesawat, roda sudah terhubung ke kendaraan pendorong, siap untuk mendorong burung raksasa itu mundur dari gedung terminal sebelum bergerak memasuki taxyway menuju landas pacu yang telah ditentukan.

 Fikri memandang ke arah gedung terminal yang berdinding kaca. Bayangan seorang pria berwajah Asia muncul di kaca. Ia terlihat berlari menuju pintu keberangkatan sambil membawa banyak tentengan. Di tangannya ada tas plastik dari toko bebas pajak di bandara, dan di punggungnya bertengger tas ransel berukuran besar. Masih ada dua tas lagi berukuran lebih kecil yang disampirkan ke bahu. Masing-masing satu ke bahu kiri dan bahu kanan. Entah apa isinya, tampaknya cukup penting sehingga tidak dimasukkan ke dalam bagasi.

Peluh membanjiri dahi pria tersebut, mengalir deras melalui telinganya lalu turun ke leher. Ia tidak sempat mengusap peluhnya. Baju di bagian ketiaknya sudah berubah lebih gelap karena lembab keringat. Jaket yang dikenakannya menambah rasa gerah kepanasan. Napasnya menderu, mengiringi tubuhnya yang berlari mengejar menit-menit terakhir sebelum gerbang keberangkatan ditutup. Penumpang lain pasti sudah lama duduk di kursi masing-masing di dalam pesawat.

Entah mimpi apa pria itu semalam, petugas di gerbang keberangkatan menghentikan langkahnya. Dari gerak-geriknya petugas itu seperti berkata bahwa pria itu membawa terlalu banyak barang bawaan. Terjadi sedikit perdebatan. Fikri tidak bisa mendengarnya. Tampaknya pria itu berusaha meyakinkan petugas agar diperbolehkan masuk pesawat. Wajah petugas terlihat tidak senang melihat kengototan pria yang sudahlah terlambat, membawa barang banyak pula. Selanjutnya terlihat pria itu berjongkok, mengatur ulang barang bawaan agar lebih ringkas, di bawah tatapan tajam petugas yang setiap detik melirik jam tangannya. Menuntut pria itu segera menyelesaikan tugasnya. Sepertinya itu kompromi terbaik mereka.

Akhirnya pria itu berhasil menjejalkan seluruh isi plastik dari toko bebas pajak bandara ke dalam ranselnya dan menggabungkan isi dua tas sandangnya menjadi satu. Satu tas sandangnya terpaksa ditinggal. Tas itu tergeletak begitu saja di lantai. Segera setelah semuanya selesai, ia berdiri dari jongkoknya, memanggul kembali ransel besarnya, dan bersiap melesat masuk ke dalam garbarata. Meninggalkan petugas yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

“Maaf, apakah bapak masih menunggu seseorang?”

Lihat selengkapnya