Sang Pelancong

Adrian Syahminur
Chapter #3

Jamuan Internasional

Dering telepon meraung-raung. Fikri terlonjak bangun dari tempat tidurnya. Rasa kantuk yang masih membelit mencegahnya bersegera menjawab panggilan. Telepon genggam di atas meja itu tetap berdering beberapa saat sebelum dijawab. Dia pasti langsung tertidur begitu tiba di kamar hotel. Baju yang dikenakannya masih baju yang dipakai dalam perjalanan dari Jakarta. Matanya mengerjap-ngerjap menyesuaikan terang dari lampu kamar yang masih menyala. Lupa dipadamkan.

Layar telepon masih berkedip menampilkan nama penelepon. Masih pukul 03.45 waktu Malmö. Tidak heran seseorang di Jakarta sudah meneleponnya sepagi ini. Di sana sudah hampir pukul sembilan.

“Halo.” Fikri mengambil teleponnya dan menjawab panggilan. Seseorang di Jakarta pasti mendengar suara Fikri yang masih berat.

“Selamat pagi pak Fikri. Apa bapak sudah tiba di kantor?”

Saya belasan ribu kilometer dari kantor, rutuk Fikri dalam hati.

Fikri berusaha menegakkan tubuhnya sebelum menjawab, “Pagi pak Budi. Apa kabar? Saya tidak sedang di Jakarta. Saya ada di Swedia. Ada beberapa urusan di sini sampai minggu depan. Apa yang bisa saya bantu?”

“Maaf pak Fikri. Tentunya di sana masih gelap ya. Wah, maaf kalau saya membangunkan bapak. Bagaimana jika saya telpon lagi nanti agak sore pak, biar bapak segeran.”

“Tidak apa-apa pak Budi. Sebenarnya saya dari tadi sudah bangun. Kena jetlag juga sedikit.” Fikri tahu bahwa dia tidak pandai berbohong.

“Kebetulan pak. Berarti pak Fikri siap berdiskusi dengan saya sekarang. Sebentar saja kok.”

Orang ini benar-benar tidak tahu adat. Mengganggu tidurnya. Fikri kembali merutuk dalam hati. Tetapi hanya dalam hati. Kantuknya segera menguap, digantikan oleh rasa kesal. Tapi orang ini pelanggan besar. Budi Liem. Pemilik beberapa pabrik di Tangerang. Orangnya baik, tetapi pencemas. Fikri tidak bisa begitu saja meluapkan kekesalannya. Bisa-bisa dia lari ke orang lain.

Ia meraih botol air di meja di dekatnya, lalu meneguk isinya.

Setelah tenggorokannya lega, Fikri menjawab dengan senyum yang terlatih, “Siaap pak. Silakan.”

Diskusi sebentar itu berakhir hampir satu jam kemudian.

Pabrik biskuit milik pak Budi sudah selesai diperluas sehingga kapasitas produksinya bisa lebih dari dua kali lipat sebelumnya. Mesin-mesinnya baru, didatangkan langsung dari Jerman. Pak Budi jenis industrialis yang sangat fanatik dengan mesin produksi Eropa. Selama ini, proses pengiriman biskuit dari pabrik dilayani oleh perusahaan Fikri. Menggunakan petikemas. Fikri yang mengatur seluruhnya. Mulai dari mencari truk pengangkut dari pabrik ke pelabuhan, kapal, pengurusan di pelabuhan, sampai mengeluarkannya dari pelabuhan tujuan menuju gudang pembeli. Hasil produksi dari pabrik baru ini dialokasikan untuk melayani ekspansi penjualan ke wilayah timur Indonesia. Pak Budi menawarkan distribusi ke wilayah ekspansi kepada Fikri.

Diskusi selama satu jam itu menghasilkan kesepakatan baru senilai lebih dari dua puluh lima miliar Rupiah per tahun, dengan masa layanan tiga tahun. Lebih dari lumayan. Rasa kesal yang sempat hinggap, terbang jauh keluar melalui jendela hotel. Begitu juga kantuknya. Telah sempurna pergi.

Fikri menyingkap tirai dan membuka jendela kamar hotel, membiarkan udara segar menyelinap masuk ke dalam kamar. Langit Malmö mulai memendarkan semburat matahari pagi. Kantuknya berganti dengan semangat. Siapa yang tidak semangat jika sebentar lagi pundi-pundinya bertambah sekian miliar Rupiah.

Fikri kemudian melihat ke telepon genggamnya, mencari sebuah nomor, lalu menekan tombol bicara di layar.

“Selamat pagi, mas Fikri.” Seseorang di seberang sana menjawab dengan sopan.

“Pagi Agus. Barusan aku bikin deal dengan pak Budi, biskuit Ceria. Kita dapat tambahan kargo sampai tiga tahun ke depan. Saya hitung-hitung, nilainya minimal dua puluh lima miliar per tahun. Kamu tolong tindaklanjuti perjanjiannya ya. Segera datangi kantor pak Budi hari ini, supaya kita bisa siapkan dokumennya. Nanti begitu aku kembali ke Jakarta, aku tanda tangani kontraknya. Ada yang perlu kamu tanyakan?”

Agus mencatat semua instruksi Fikri dengan cermat, dan hanya berkomentar singkat, “Baik mas. Akan saya selesaikan.”

Fikri yakin, Agus melaksanakan perintahnya dengan sempurna tanpa terlewat satu hal pun.

Setelah selesai memberikan instruksi ke Agus, barulah Fikri menyadari bahwa perutnya belum diisi sejak sore. Ia hanya sempat membeli burger dan kentang goreng di gerai makanan cepat saji di stasiun, setibanya di Malmö siang kemarin. Makanan tersebut dimaksudkan untuk sekedar mengisi perut sambil istirahat di kamar hotel, sebelum mencari makan malam yang lebih pantas. Sebelum kentang tersebut habis dimakan, Fikri sudah jatuh tertidur dengan televisi masih menyala dan baju yang belum diganti. Sisa kentang gorengnya pun masih tergeletak di atas meja.

Fikri mencomot satu dua kentang goreng dingin dari meja untuk mengganjal perutnya. Pagi ini restoran hotel tentu belum buka untuk sarapan. Sayangnya, di Eropa kita tidak bisa menemukan warung nasi uduk atau lontong sayur pagi-pagi. Belum apa-apa, dia sudah rindu Jakarta. Fikri lalu memutuskan mandi, menyegarkan badan yang lengket berkeringat selama perjalanan. Dia berniat keluar jalan-jalan ke area sekitar hotel sambil menunggu waktu sarapan.

Udara pagi menjelang jam enam ini masih terlalu dingin untuk dilawan oleh jaket yang dibawanya dari Jakarta. Jaket itu tampak terlalu tipis di Malmö. Padahal, di Jakarta ia bisa basah kuyup jika memakai jaket itu jalan-jalan pagi di sekitar rumah. Tetapi berjalan santai di tengah-tengah bangunan kuno di daerah kota tua Malmö bisa sedikit menghangatkan tubuh.

Hotel tempatnya menginap adalah bangunan berusia lebih dari empat ratus tahun. Salah satu bangunan yang berasal dari abad pertengahan. Letaknya persis di Stortorget (torget – alun-alun, dan stor –besar), salah satu dari dua alun-alun kuno kota Malmö. Tinggal di sini seperti hidup di jaman ketika Malmö masih berupa kota kecil di pinggir pantai yang dikelilingi benteng dan kanal besar untuk melindungi kota dari serangan pihak luar. Kanal itu sekarang masih ada, mengurung wilayah kota tua seolah tetap menjaganya sampai kapan pun.

Kakinya melangkah menyeberangi Stortorget menuju bangunan legendaris Radhusset, balaikota Malmö yang pada saat selesai dibangun tahun 1600-an merupakan bangunan balaikota paling megah di Skandinavia. Saat itu, Malmö merupakan kota terbesar di kawasan tersebut. Fikri berdiri di depan bangunan bata merah dua lantai dengan atap tembaga warna hijau tersebut. Bangunan itu tetap megah, bahkan untuk ukuran masa sekarang.

Tiba-tiba Fikri melihat serombongan laki-laki dan wanita berpakaian rapi, seperti akan menghadiri sebuah pesta, memasuki pintu balaikota itu. Mereka tertawa-tawa dengan tampilan ceria dan percaya diri yang sulit untuk disembunyikan. Semakin lama jumlahnya semakin banyak. Beberapa datang berombongan.

***

Enam belas tahun sebelumnya.

Hall luas di lantai dasar Radhuset malam itu semarak dengan cahaya benderang dari lampu kristal yang menggantung di langit-langit berhias indah. Itu adalah ruangan resepsi, tempat pemerintah Kota Malmö biasa menerima tamu penting atau menyelenggarakan acara sosial. Langit-langit ruangan itu tinggi. Dihiasi jendela-jendela tinggi yang diselimuti tirai-tirai beludru warna marun yang indah dan terlihat mewah. Tirai-tirai dibuka lebar-lebar, sehingga kesibukan dan keceriaan di dalam ruangan itu terlihat jelas dari luar.

Petang di bulan Mei itu masih menyisakan sinar matahari. Satu-satu tamu memasuki pintu balaikota. Laki-laki mengenakan jas lengkap dengan dasi. Beberapa lelaki mengenakan pakaian berbeda. Dua orang tampak memakai gamis dengan hiasan tutup kepala yang khas dari Arab. Tubuh mereka tinggi besar dengan cambang dan janggut yang lebat. Ada sekitar empat orang terlihat menggunakan barong tagalog, baju putih lengan panjang dari bahan yang cukup tipis. Pakaian khas lelaki Filipina. Rombongan wanita lebih meriah lagi. Ada yang mengenakan Kimono (sudah pasti tahu dari mana mereka berasal). Beberapa wanita dari Afrika mengenakan pakaian warna-warni hijau dan merah yang meriah dengan tutup kepala yang sama meriahnya. Tidak ketinggalan pula, para wanita berhijab ikut menyemarakkan perhelatan itu dengan dandanan yang menarik.

Meja-meja panjang diatur di dalam ruangan, puluhan jumlahnya. Ada 10 kursi di tiap meja, masing-masing lima orang duduk di tiap sisi, saling berhadapan. Gelas-gelas kristal dan sendok, garpu, serta pisau disusun rapi di dekat piring, memantulkan kemilau lampu kristal di atasnya. Setiap orang duduk di tempat yang telah ditentukan. Ada papan nama dan negara asal di tiap meja yang menjadi panduan. Diatur sedemikian rupa sehingga setiap orang di masing-masing meja bisa bersosialisasi dengan tamu undangan dari negara yang berbeda.

Menjelang gelap, ruangan segera sesak. Hampir seluruh undangan tampaknya sudah hadir. Setiap kursi sudah memiliki penghuninya. Ruangan berubah menjadi seperti pertemuan negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa. Berbagai kebangsaan berkumpul di ruangan itu. Mulai dari kulit putih hingga hitam, rambut kuning hingga keriting, semua ada. Beberapa pelayan hilir mudik mendekati para undangan menawarkan minuman yang disukai, sambil menunggu acara dimulai.

Ruangan yang gemuruh itu tiba-tiba hening ketika terdengar suara denting gelas dipukul sesuatu. Seorang pria – belum terlalu tua – dengan mata biru yang memesona berdiri sambil memegang gelas wine di tangan kirinya dan sebuah sendok kecil di tangan kanan. Wajahnya tersenyum. Auranya tampak bersahabat, meskipun terlihat wibawa.

Pria itu berjalan ke arah mikrofon di tengah.

“Selamat malam bapak dan ibu para undangan. Terima kasih telah memenuhi undangan kami untuk datang dalam acara resepsi yang diselenggarakan di gedung paling bersejarah di kota Malmö. Saya Ilmar Jansson, Walikota Malmö.”

Suara dengungan memenuhi ruangan. Hampir setiap orang baru mengetahui bahwa pria yang disangka pembawa acara itu ternyata adalah Walikota.

Setelah dengungan mereda, Walikota meneruskan pidatonya.

“Kami bangga, pada malam ini ruangan resepsi Radhuset dipenuhi oleh warga pilihan dari 34 bangsa di dunia, yang ditugaskan negaranya untuk belajar di sini. Sebagai pihak yang menjadi tuan rumah, tentunya sebuah kebahagiaan jika kami bisa memperkenalkan diri kami kepada Anda semua. Kami dan pihak universitas telah bertahun-tahun menjalin kerjasama yang baik untuk memastikan bahwa Anda semua bisa tinggal di kota ini, menyelesaikan pendidikan dengan nyaman hingga kembali pulang membawa pengalaman yang menyenangkan. Kami berharap, Anda bisa cepat menyesuaikan diri dengan cuaca Malmö yang sering tidak menentu.”

Walikota mengambil napas sebentar.

“Dalam kesempatan ini, ijinkan kami Pemerintah Kota Malmö untuk menegaskan kembali komitmen kami menjadi pelayan yang baik bagi Anda semua. Acara malam ini merupakan tradisi yang sengaja kami selenggarakan – atas ijin universitas tentunya – untuk menyambut Anda semua dan mengenalkan diri agar kita menjadi lebih dekat. Mohon agar Anda tidak ragu-ragu menghubungi pejabat di kantor saya jika selama Anda berada di Malmö mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Saya harap laporan itu tidak pernah ada.”

Terdengar gelak tawa memenuhi ruangan.

“Terakhir, saya dan seluruh warga Malmö mengucapkan selamat datang di kota kami. Semoga pendidikan Anda di World Maritime University menjadi bagian sejarah penting dalam perjalanan Anda, untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Terima kasih.”

Walikota berjalan menjauh dari mikrofon, diiringi oleh tepukan membahana dari para undangan yang memenuhi seluruh ruangan. Semua orang berdiri dari tempat duduknya. Ia kemudian menyalami Presiden World Maritime University, sebelum duduk di di bangkunya.

Sang Walikota tidak asal bicara. Pemerintah Kota Malmö telah membuktikan dirinya sebagai pelayan yang luar biasa bagi mahasiswa World Maritime University. Sejak berdirinya universitas tersebut, Pemerintah Kota menjamin penyediaan asrama, asuransi kesehatan, bantuan subsidi transportasi kota, serta sumbangan lainnya yang diperlukan.

Lihat selengkapnya