November 2012
Cairan seperti sirup stroberi mengalir di perut seorang gadis. Dia langsung terjatuh dengan dengan mulut memekik. Napasnya berubah tersengal. Ada takut dan kengerian menggumpal. Sementara itu ranting yang tumbuh di perutnya masih senang bersama inangnya. Dengan kata putus-putus dia pun merintih meminta pertolongan pada temannya yang lain.
“Hei, apa yang kamu lakukan!” sergah seorang anak yang memakai mantel merah. Dia mendorong temannya dengan perasaan marah. Anak yang didorong jatuh terjengkang. Matanya langsung melotot pada si mantel merah yang telah mendorongnya.
Sementara dua teman lain menghampiri seseorang yang telah bersimbah darah. “Han,” panggil salah satu gadis berkerudung biru pada teman wanitanya yang kini bernapas tersendat-sendat. Sebuah ranting pohon sebesar lingkaran jari telah menancap di perut gadis yang dipanggil Han. Dia telah bersimpuh menopang kepala gadis yang terkulai kesakitan.
Seorang anak yang bertopi segera membuang carrier, melakukan satu gerakan cepat menekan bagian luka yang masih tumbuh ranting pohon dengan getah merah yang terus mengalir deras.
“Sebaiknya kamu cabut rantingnya.” kata si gadis berkerudung biru yang merasa ngeri dengan luka temannya. Suaranya terdengar bergetar.
“Tidak. Itu akan semakin membuat lukanya bertambah parah.” tolak anak laki-laki bertopi.
“Apa yang harus kita lakukan?” si gadis berkerudung biru mulai menangis.
Di sisi lain si mantel merah telah menodongkan sebilah tongkat. Tongkat milik anak perempuan yang dipanggil Han, dan tergeletak begitu saja di tanah. Anak laki-laki bertubuh kecil yang tadi menyerang Han, masih terduduk seperti awal mula dia terjatuh. Tangan menumpu ke belakang, kedua kaki menekuk. Matanya tidak lagi memelotot. Dia justru memandang ke langit yang semakin gelap. Guratan garis emas yang menyerupai akar sesekali membelah angkasa.
“Kamu gila ya?” hardik si mantel merah tidak melepaskan kewaspadaannya. Gelegar yang menggetarkan bumi mengikuti seruan si mantel merah.
Si anak laki-laki dengan tudung hoodie, kini telah memandang si mantel merah dengan senyum menyeringai. Senyum itu semakin lebar, hingga menguarkan tawa yang menggema di tengah prahara alam.
“Dia berani mengejekku, karena itu dia harus mati.” ucapnya kemudian tanpa merasa bersalah. Posisinya kini telah memeluk lutut.
“Dasar sinting!” rutuk si mantel merah tiba-tiba merasa ngeri mendengar perkataan temannya itu.
Kata umpatan dari si mantel merah bagi si hoodie serupa lelucon yang sangat menggelikan. Dia tertawa terkekeh hingga menunduk-nuduk.
Udara telah berubah menjadi putih. Rintik pun turut menggarisi selubung bak kelambu. Jarak pandang yang tercipta sekarang hanya tiga langkah kaki. Padahal beberapa menit lalu, langit masih terlihat biru kelabu. Ketika kelimanya turun dari puncak, tiba-tiba cuaca dengan cepat berubah.
Saat mereka beristirahat pada cerukan kecil, tiba-tiba anak yang dipanggil Han, mencela si hoodie. Kebetulan, di antara mereka berlima si hoodie-lah yang badannya paling lemah. Han, melontarkan satu kata: “Dasar Letoy! Kamu cowok bukan, sih, padahal jalan menurun, kenapa masih rewel kelelahan. Baru juga istirahat di pos lima.”
Si hoodie diam saja. Dia hanya menunduk menahan napas yang terasa tersengal.
“Harusnya kita jangan mengajak dia, sungguh merepotkan!” Han masih berkeluh kesah.
Si Hoodie berdiri. Mendekat pada satu pohon dengan ranting rendah, kemudian mematahkan ranting tersebut. Gerak selanjutnya dia berjalan mendekati Han dengan tatapan kosong. Keempat temannya yang lain sungguh tidak menduga kalau ranting tersebut, pada akhirnya menancap di perut Han.
“Sekarang kita harus gimana?” si gadis kerudung biru mulai panik. Temannya yang terkapar mulai hilang kesadaran.
“Aku akan turun mencari bantuan.” kata anak laki-laki bertopi. “Kamu tekan lukanya seperti ini.
Gadis kerudung biru beringsut setelah meletakkan kepala Han pada tas rangselnya. Ragu-ragu dia melakukan seperti yang diperintahkan oleh anak laki-laki bertopi. Sesuatu yang hangat segera melumuri tangannya.
“Hoi, kamu mau kemana?” tanya si hoodie menatap tajam pada anak bertopi.
“Tahan dia, Kan!” kata si anak bertopi. Gerak selanjutnya dia telah memanggul carriernya.
Si mantel merah yang dipanggil Kan, masih waspada menghunuskan tongkat pada si hoodie.
“Aku tinggal, dulu Dis,” kata anak bertopi. Dia menghela napas sebelum melangkah. Menoleh pada kedua temannya yang saling menjaga. Yang satu menjaga teman yang terluka, yang satu menjaga si penyerang brutal.