Sang Pemangsa di Gunung Lawu

Xie Nur
Chapter #2

Headline #1

Februari 2020

Naraya langsung memelesat menuju Perantunan, salah satu pos pendakian Gunung Ungaran, selain via Mawar, Medini dan Gedongsongo. Melalui grup alumni kuliahnya dia mendapat info penemuan mayat perempuan di jalur pendakian itu. Kebetulan, salah satu temannya itu bertempat tinggal di desa Legowo Duren, kampung terakhir dari jalur pendakian tersebut.

Bukan rumah domisili sekarang sih, lebih tepatnya itu rumah orang tuanya. Dan sepertinya Wilis, teman Naraya itu mendapat kabar dari keluarga atau kerabat yang tinggal di sana. Bukankah, segala hal sekarang dapat dengan mudah tersebar melalui media sosial. Walau Wilis tinggal di Jakarta, dia malah yang terlebih dulu mendapat kabar tentang penemuan mayat tersebut dibanding Naraya.

Zamannya memang sudah serba digital. Apalagi sejak pandemi Covid-19 yang melumpuhkan segala sendi kehidupan dunia. Orang-orang lebih banyak berinteraksi melalui layar mini yang pintar. Pemberlakuan PPKM, semakin menjauhkan orang yang dekat, dan malah mendekatkan orang yang jauh. Bahkan perselingkuhan pun marak terjadi di dunia maya.

Dan sejak itulah, semua orang tampaknya terobsesi menjadi wartawan dadakan. Menjadi reporter dengan menyetel siaran langsung melalui video lalu menyebarkan berbagai kejadian aneh, orang yang mati bunuh diri, termasuk orang-orang yang meninggal karena corona virus disease, perbuatan mesum di tempat umum, hingga percekcokan antar tetangga atau hal remeh temeh lain seperti unboxing nasi rames warung makan di pojokan.

Jalanan, masih terkesan lengang. PPKM level 3 masih berlaku di beberapa tempat. Untunglah, Naraya sudah mengantongi kartu vaksin lengkap. Jadi kalau ada razia antar wilayah dia bisa tetap meneruskan perjalanan tanpa terhambat prosedur protokol kesehatan.

Mobil kijang tua Naraya telah melewati pasar Bandungan. Tiga kilometer lagi Dusun Legowo, dan tujuan Naraya adalah tempat wisata alam yang memuat gerbang pendakian yang sesungguhnya, camping ground, dan selfi area.

Selepas melewati gapura bertuliskan “RW V Lingk. Gintungan Kel. Bandungan”, ban mobil wanita berumur 26 tahun itu tidak lagi menggelinding di aspal. Jalan cor menghampar hingga lapangan voli, dan beberapa pemuda mencegat mobilnya. Pada area itu telah banyak mobil terparkir tepat di depan lapangan voli. Termasuk di antaranya mobil polisi, mobil Basarnas dan ambulance.

“Mau kemana, Mbak?” tanya salah satu dari mereka di jendela kaca mobil Naraya yang telah terbuka

“Perantunan,” sahut Naraya langsung.

“Mobil parkirnya di sini, Mbak. Tidak bisa naik ke atas.” Info pemuda berambut cepak, mengenakan kaos warna oranye, celana kargo warna hitam.

“Oh, baik. Saya parkir di mana?” tanya Naraya.

Lalu pemuda itu memberi kode pada Naraya agar mengikuti arahan salah satu teman lain. Pemuda dengan rambut ikal kini yang memandu Naraya. Turun dari mobil hawa dingin membisiki kulit Naraya. Rasanya ingin sekali melepas masker, ketika udara segar menelusup di antara sela penutup hidungnya. Tetapi itu jelas masih tidak boleh.

“Mas, dari sini jauh nggak ke sana?” tanya Naraya pada pemuda berambut ikal yang lalu menyodori karcis parkir.

“Ada ojek, Mbak. Daripada jalan.” tawar pemuda itu. “Lima belas ribu aja.”

Naraya mengangguk tanda setuju. Kemudian sebuah sepeda motor telah melaju ke arah Naraya.

“Mari Mbak.” ajak si tukang ojek setelah mengarahkan motornya ke arah perjalanan Naraya berikutnya.

Sepeda motor cc tinggi telah menggeber jalanan cor dengan lebar satu setengah meter. Naraya sedikit ngeri ketika sepeda motor yang dia naiki oleng ke kanan dan ke kiri. Melewati area yang terbuka berteman kebun bunga mawar di kanan kiri. Serasa sedang berjalan di negeri peri bunga.

Di ujung tanjakan yang tidak terlalu curam terlihat sebuah gerbang dari tonggak pohon mati. Di samping kirinya terdapat bangunan loket pendaftaran untuk masuk ke area tersebut.

Ojek yang ditumpangi Naraya berhenti tepat di depan lubang pembayaran. Setelah membayar ojek, kini giliran dia berurusan dengan penjaga loket yang langsung menanyai keperluan Naraya. Mau mendaki Gunung Ungarankah, mau kemping, atau berwisata di spot selfie.

“Tapi kalau mau ke gunung, khusus hari ini tutup.” kata penjaga loket yang memiliki badan subur, seolah kata-katanya tadi yang menawari mendaki gunung meledek.

“Beneran ada orang yang mati di gunung, Mas?” tanya Naraya tidak menyahuti Mas Penjaga loket yang memiliki kulit sawo sangat matang, dan punya senyum khas pada gigi yang bolong di tengah. Matanya melihat sekitar yang terlihat lumayan ramai. PPKM ternyata tidak membuat anak muda urung berkegiatan di alam bebas. Selain itu, tampak pula polisi berkeliaran bersama beberapa orang yang mengenakan rompi basarnas.

“Benar Mbak,” sahutnya. “Jadi merinding, nih, saya.”

Lihat selengkapnya