Sang Pemangsa di Gunung Lawu

Xie Nur
Chapter #3

Headline #2

Naraya langsung menepi. Dari orang yang berduyun-duyun itu terdapat dua orang yang tengah mengangkut jenazah. Satu batang kayu digantungi segelondong tubuh yang tidak bernyawa. Terpal warna oranye yang membungkus tampak berayun-ayun menyerupai ikatan tubuh pada pocong.

Mendekati gerbang masuk terjadi pertukaran orang yang menggotong. Tanpa jeda istirahat mereka langsung meluncur turun. Kecuali orang yang tadi sudah menandu dari atas. Mereka berdua lalu duduk bersama tiga orang anggota polisi di seberang loket pembelian tiket. Satu tempat beratap dan bagian bawahnya di semen.

Naraya mendekati gerombolan itu. Menganggukkan kepala dan menyapa mereka. Namun, dua anggota basarnas malah berdiri dan meninggalkan tempat itu. Sekilas lalu, Naraya menduga keduanya menuju ke arah toilet.

“Baunya nggak nguatin, pengin muntah aku.” kata seorang polisi yang badannya kecil.

“Maaf Pak, saya dari Majalah Online Beringas, boleh tanya-tanya sedikit?” Naraya menerombol pada kumpulan kecil itu sambil memperlihatkan tanda pengenal.

“Dari Majalah Beringas? Gahar juga namanya.” tanggap polisi bernama Saga.

“Benar, Pak.” Lalu Naraya mengeluarkan kartu nama yang terdapat alamat web dan juga aplikasi dari Majalah Beringas yang bisa diunduh melalui toko aplikasi.

“Gimana Mbak Naraya?” tanya salah satu dari mereka yang memelorotkan maskernya ke mulut, tidak menutupi hidung. Kumis tebalnya melambai-lambai seketika.

“Panggil Nara, saja Pak. Biar nggak kepanjangan.” Naraya meringis.

“Benar juga, lidah saya berasa belibet,” balas polisi lain yang berkulit terang dengan nama Rifan. Terlihat jelas pada papan nama di dada sebelah kanan.

“Jadi tadi yang dibawa itu mayat laki-laki atau perempuan?” tanya Naraya ikut duduk bersimpuh di tak jauh dari mereka.

“Perempuan,” sahut polisi yang berkumis tebal tadi dan bernama Deri. "Mari ikut duduk sini." tawar Deri agar Naraya duduk di sebelahnya.

“Terima kasih, Pak. Saya di sini saja. Biar mudah ngobrolnya." tolak Naraya karena merasa tidak nyaman bila harus berbicara pada satu sisi, tidak berhadap-hadapan.

"Nanti kesemutan, lho." lontar Rifan.

"Aman terkendali," sahut Naraya sambil membulatkan jari telunjuk dan ibu jari sementara jari lain terangkat ke atas. "Oh ya, untuk perkiraan umur berapa?” tanya Naraya lagi. “Lalu tinggi dan berat badannya?”

“Sekitar dua puluhan,” Deri masih rajin menyahuti. Lagipula posisi duduknya kebetulan dekat Naraya. “Kalau perkiraan tinggi kurang paham. Masalahnya kami tidak melihat langsung.”

“Difoto enggak Mbak, dia nanti?” tunjuk Rifan. “Kalau mau foto, gambar saya saja yang diambil yang fotogenik.” godanya.

“Mau saya foto?” Naraya bertanya pada Deri. “Boleh, kebetulan saya butuh dokumentasi gambar juga.”

“Ngapain? Jangan Mbak, foto dia aja.” seloroh Deri sambil mendorong lengan temannya yang jahil itu. “Lagian dia yang menawari fotonya.”

“Ya deh, foto bertiga.” ucap Naraya mencoba menengahi.

Lihat selengkapnya