Setelah bertanya-tanya pada beberapa pendaki yang ada di warung. Akhirnya Naraya bertemu dengan tiga pendaki yang menemukan mayat di pos satu. Seharusnya kemarin sore mereka sudah meluncur turun. Berhubung pihak kepolisian menahan meraka untuk dimintai keterangan, terpaksa mereka menginap lagi semalam di area camp. Dan sekarang mereka sedang berada warung untuk makan sebelum turun.
“Jadi mayat itu berada di samping batu yang mirip atap rumah?” ulang Naraya. “Terus sewaktu kemarin kalian naik, saat melewati pos satu apa sudah tercium bau yang tidak sedap?”
“Sudah, sih, Mbak. Tapi tidak begitu kami pedulikan. Pas turun barulah kami penasaran, karena kebetulan kami istirahat di pos situ, dan baunya terasa semakin menyengat. Kami lalu iseng mencari.” tutur Ilham kemudian meminum kopinya. Kebetulan saat Naraya mendatangi mereka, piring-piring di atas meja tinggal menyisakan sampah kecil. Ketiganya tampak sedang merokok sembari menikmati kopi.
“Lalu saat kalian temukan, mayat itu dalam keadaan tanpa pakaian?” Naraya memastikan. “Terbungkus plastik transparan, dengan posisi tubuh tertekuk jadi dua?”
“Benar.” sahut Bayu setelah menghisap rokoknya.
Tiba-tiba salah satu dari mereka bertiga lari keluar warung sambil menutupi mulutnya. Daniel, nama anak itu, nama yang tercantum sebagai ketua rombongan di pos masuk, saat ini tampak membungkukkan badan seperti mau muntah. Tetapi tidak sampai mengeluarkan isi perutnya.
“Dia sudah muntah-muntah sejak melihat mayat itu.” kata Ilham antara geli juga iba. “Tadi dia cuma makan sedikit, katanya masih berasa mual.”
Naraya manggut-manggut. Setelah mengamati Daniel, matanya lalu berputar sekilas di dalam warung yang saat itu tidak terlalu ramai. Segerombol anak duduk di belakang Naraya terjeda satu deret meja kursi.
“Parah tuh, anak!” desis Bayu sambil menyemburkan asap.
“Mayat yang kalian temukan tergeletak dengan plastik transparan gitu saja, ya?” Naraya mengulas topik semula. “Plastik pembungkusnya satu lipatan atau tampak bergulung-gulung?”
“Itu terlihat seperti plastik rol besar yang dipotong, lalu ujung-ujungnya diikat pakai tali rafia.” terang Bayu. “Saat kami menemukan, dia tertutupi plastik packing hitam.”
“Dari posisi tubuh korban yang tertekuk, kalian bisa mengira-ngira tinggi dan berat badan perempuan itu?” tanya Naraya lagi.
Bayu tampak berpikir lalu menyahut, “Melihat dari plastik packing yang menutupi tidak penuh, kurang lebih 150-an tidak sampai 155 sentimeter, saya kira. Untuk berat badan, ideal.”
“Terus, kalian sempat memperhatikan tubuhnya tidak?” cecar Naraya yang kali ini memilih merekam percakapan mereka dengan menggunakan ponselnya. Namun, sesekali dia tetap mencoretkan sesuatu di buku catatannya.
Bayu dan Ilham memandang Naraya dengan mengerutkan kening.
“Kami terlalu kaget, Mbak. Mana sempat melihat dengan saksama. Ngeri, begitu kami buka plastik hitam di atasnya, eh, malah terbujur satu bentukan tubuh manusia.” jawab Ilham, kedua bahunya terangkat seiring tangan yang memeluk lengan atas.
“Kami langsung turun dan melapor ke pos pendakian.” imbuh Bayu.