“Dia sudah dijinakkan, Mbak.” kata Gani yang tampaknya dapat melihat air muka Naraya menciut. “Penampilannya aja yang sangar, kemarin, dia yang muntah duluan lihat mayat itu. Gayanya aja yang sok iyes, tapi setelah melihat mayat, dia langsung muntah.”
“Sst….” laki-laki berambut panjang dengan tato di tangan sebelah kiri, yang menurut Naraya menyerupai coletan batik abstrak, memanyunkan mulutnya sembari jari telunjuk kanan mengarah pada Gani dengan mengancam. “Jatuh image-ku, Gan!” rutuk lelaki yang mengenakan kaos oranye bertuliskan Perantunan di dada bagian atas.
Naraya tertawa mendengar keduanya saling mencela.
“Berarti perkiraan berapa lama sampai ke pos satu?” tanya Naraya menghentikan keduanya yang masih betah saling tuding dengan gaya bercanda.
“Kurang lebih satu jam,” sahut si laki-laki berambut panjang. “Oh ya, kenalkan, saya Agil.” tangannya mengulur pada Naraya dengan cara mengepal. Naraya menyambut kepalan tangan Agil dengan cara serupa.
“Pasti anak terakhir!” tuding Naraya, kontan membuat Agil menutupi wajahnya. “Kenapa?” tanya Naraya.
“Malu ketahuan.” ujarnya sambil mengintip di sela jari tangannya.
Mau tak mau Naraya tertawa kecil. Di Jawa seringnya memang nama Agil berasal dari kata ragil_Bahasa Jawa yang artinya anak bungsu. Penampilan Agil yang sangar, bertolak belakang dengan sifatnya yang suka melawak. Apa karena dia anak bontot, sehingga membuatnya kekanakan seperti itu.
“Bisa langsung berangkat sekarang?” ujar Naraya sambil melihat jam tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit.
“Ayo, let’s go bebih!” sambut Agil lalu balik badan dan menggerak tangannya seperti sedang berlari meski kaki baru melangkah, satu jangkah.
“Yuk, Mas!” pamit Naraya pada Gani.
“Yoo, hati-hati.”
Naraya mengikuti langkah Agil yang berjarak setengah meter darinya. Medan pertama masih berupa batuan yang ditanam rapi dalam tanah. Samping kiri mereka berupa camping ground, sementara sebelah kanan berdiri basecamp pendakian Perantunan.
Selanjutnya, jalan yang terlewati mirip meniti sebuah jembatan dengan pagar kayu yang melintang antar pohon. Dengan ambang sebelah kanan spot foto rumah liliput. Sedangkan sebelah kiri terdapat beberapa bangunan yang Naraya tebak sebagai gardu pandang.
Pohon masih sesekali memayungi. Akan tetapi tanaman semak makin rapat bagai pagar pembatas jalan. Terkadang tinggi tanaman semak itu hampir sama dengan tinggi badan manusia. Sejauh ini napas Naraya masih terkondisikan, karena memang belum menemukan tanjakan yang berarti.
Melewati gazebo terakhir, medan telah berubah dominan tanah. Pohon tinggi mulai menyingkir dari tepian jalur, membuat sinar matahari menghujam langsung ke kulit. Rumput jarum makin mengganas menggantikan dominasi semak yang menjadi jarang.
Tiba di persimpangan jalan, Agil mengarahkan kaki menuju kiri. Terdapat plang penanda ke mana seharusnya para pencari puncak harus melangkah.
Naraya berhenti, mengambil napas. “Ke sana ke mana, Mas?” tanya Naraya sembari memandang satu bangunan dari kayu yang menjulang tinggi.
Agil menoleh pada Naraya dan ikut menghentikan langkahnya yang sudah mencapai lima tapak.
“Itu mengarah ke gardu pandang, Mbak. Mau lihat ke sana?” tawar Agil.
“Nanti pulangnya saja.” ucap Naraya. Dan menjadi tidak yakin nanti akan menjenguk ke sana. Lihat situasi dan kondisi.
“Pemandangannya bagus lho, bisa melihat Danau Rawa Pening, deretan pegunungan puncak Kendil, Kelir, Telomoyo, dan Gajah. Gunung Merbabu juga kelihatan.” terang Agil, bertindak sebagai pemandu yang baik.
“Yuk, lanjut!” ajak Naraya tak mau membuang waktu.