Tempat bekas mayat, rerumputannya rebah sempurna. Tampak barisan semut mengitari area tersebut. Naraya bisa menebak posisi mayat melintang segaris dengan batu yang menyerupai rumah. Dia lalu memotret tempat itu. Mengambil gambar dari beberapa angle, sehingga terkadang tubuhnya harus bergerak maju atau mundur. Nah, saat mundur itulah, kakinya terjegal batang pohon semak yang saling melintang. Tubuhnya oleng tertarik gaya gravitasi ke belakang. Sebelum tubuhnya meluncur menghempas tanaman semak yang masih berdiri, sebuah tangan telah menangkap tubuhnya.
“Hati-hati,” bisik satu suara berat yang asing, karena jelas itu bukan suara milik Agil yang cenderung cempreng.
Naraya mendongak pada si penolong saat tubuhnya masih tersangga tangan yang kekar. Bukan karena keenakan, tetapi karena memang untuk memposisikan tubuh untuk tegak memang sulit pada dataran yang tidak rata. Satu wajah yang belum lama terpindai matanya mengutas satu senyum madu.
Laki-laki itu membantu menegakkan tubuh Naraya. Wajahnya seketika merasa panas bukan karena terbakar matahari. “Ah, terima kasih.” ucap Naraya sambil menoleh cepat dengan perasaan malu.
“Tidak apa-apa, lain kali hati-hati. Apalagi berdiri di antara semak yang rimbun juga rawan kena serangan hewan melata.”
“Ular?” Naraya memastikan, dia pun mulai bergerak meninggalkan tempat penemuan mayat dengan kembali merunduk melewati garis polisi.
Laki-laki itu mengulurkan tangan menawarkan bantuan agar jalan Naraya tidak terseok lagi. Tanpa segan Naraya menyambut tangan kekarnya itu.
“Mas Basarnas?” tunjuk Naraya ketika mereka telah berdiri di jalur. “Em… Gagat?” Naraya ingat nama orang yang sudah diwawancarainya tadi.
“Masih ingat nama saya?” ujarnya tersenyum sumringah.
“Pasti, semua narasumber pasti saya ingat.” balas Naraya lalu memandang ke arah kirinya, tertuju pada Agil yang sedang berjalan turun.
“Lihat-lihatnya sudah, Mbak?” tanya Agil setelah dekat dengan keduanya. Dia menganggukkan kepala pada Gagat yang membalas sama.
“Sepertinya sudah, ayo kita turun.” ajak Naraya.
“Loh, sudah mau turun?” tanya Gagat seolah menyayangkan.
“Iya, yang penting sudah dapat foto lokasinya.” sahut Naraya. “Oh ya, Mas Gagat tadi bukannya sudah turun, ya? Kok naik lagi?” tanya Naraya mengerutkan kening.
“Saya teringat sama Mbak Naraya.” ucap Gagat, yang menyulut kerjapan mata Naraya, dan reaksi yang salah tingkah. Sebuah seringai dari Naraya terlempar kepada Agil.
“Kalian sudah kenal lama?” tanya Agil untuk mengusir kecanggungan yang tiba-tiba datang.
“Baru tadi di depan loket.” jawab Naraya.
“Cinta pada pandangan pertama, Bro!” goda Agil nyengir lebar.
Naraya sejenak panas dingin. Sudah lama dia tidak mendapat sensasi merah jambu yang menggelitik kalbu. Terakhir dia pacaran saat kelas tiga SMA. Selama menjadi mahasiswa, dia serius menjalani perkuliahannya, dalam arti lebih banyak mendekam di perpustakaan, melakukan banyak diskusi terkait berbagai kejahatan yang tengah melanda. Saat itu Naraya sama sekali tidak terpikir untuk pacaran. Menelaah masalah kriminalitas baik di Indonesia atau di luar negeri lebih menarik hatinya.
“Bukan begitu, maksud saya, Mbak Naraya, kan, datang sendiri kemari, melihat pada kasus mayat yang ditemukan tadi, jadi khawatir terjadi sesuatu pada Mbak Naraya, yang notabene perempuan. Seperti mayat yang ditemukan tadi.” terang Gagat terdengar sangat masuk akal.
Agil pun manggut-manggut menanggapi. Naraya sendiri bisa bernapas dengan lega. Sesaat dia merasa tersanjung juga. Sangat jarang, kan, orang yang peduli seperti Gagat itu. Padahal mereka baru saja bertemu.
“Bagaimana kalau kita turun sekarang?” pinta Naraya pada dua pria yang sedang mengapitnya dalam posisi berhadap-hadapan. Dia sendiri berdiri di tengah menghadap lurus ke perbukitan di seberang, sehingga bila Gagat yang bicara dia harus menoleh ke kanan. Dan saat Agil yang berceloteh, dia akan memiringkan kepala ke kiri.
“Oh baik,” Gagat mempersilakan Naraya jalan terlebih dahulu. Tetapi Naraya menolak. Tanpa banyak kata, Gagat yang memimpin langkah mereka turun ke basecamp.
Jam menunjukkan pukul satu siang lebih. Matahari kian memanggang kala kaki meniti bagian jalur yang bebas pepohonan tinggi.
Percakapan yang terjadi berkisar kota asal masing-masing. Gagat ternyata orang Semarang yang bekerja di Basarnas Surakarta. Kalau domisilinya di Ngaliyan, katanya dekat dengan Kantor Basarnas.