Gagat akhirnya menemani Naraya turun hingga tempat parkir dengan berjalan kaki. Tadi niatnya dia mau minta tolong Agil untuk mengantarnya ke sana. Tetapi Gagat mengajak Naraya turun bersama. Setelah dipikir-pikir, jarak antara tempat parkir dengan pos masuk tidak terlalu jauh. Apalagi kanan kiri yang penuh bunga mawar yang kebetulan sedang berkembang, Naraya pikir bisa menghapus rasa pegal kaki, maksudnya melupakan betapa jauh perjalanan yang akan tertempuh.
“Oh ya, belajar ilmu forensik juga?” tanya Naraya ketika teringat Gagat memperkirakan kematian korban.
“Baca-baca saja sedikit.” sahutnya memaling pada Naraya. Laju kaki mereka melangkah dengan cukup santai. “Lalu biasanya dari teori itu, saya cocokkan dengan hasil autopsi dari labfor. Awalnya meleset, tapi lama-lama jadi paham dan mendekati benar.”
“Kalau boleh tahu penanda jelasnya apa ya?” Naraya penasaran. Ini seperti mimpi jadi kenyataan bisa bertanya-tanya pada Gagat tentang jam tubuh manusia sebelum terurai habis. Matanya saat mengatakan itu, memaling sekilas pada Gagat yang berjalan di sisi kanannya, lalu fokus ke jalan, atau memandang kesegaran mawar putih berseling merah.
Selama ini dia jarang menganalisa sendiri waktu kematian korban, karena memang tidak punya akses untuk mendekati mayat. Selain itu mata kuliah peminatan forensik yang dia ikuti lebih banyak membahas tentang teori forensik, terkait sejarah dan kegunaan ilmu forensik. Karena memang ada jurusan khusus yang menangani pemeriksaan mayat secara langsung, ilmu kedokteran forensik.
Naraya hanya tahu, apa itu livor mortis, algor mortis dan rigor mortis. Fase pertama dalam perjalanan dekomposisi tubuh manusia ketika telah meninggal untuk mengetahui waktu kematian.
“Paling mudah menandai mayat yang baru meninggal. Biasanya waktu kematian antara satu sampai sembilan jam warna tubuh berubah merah keunguan, warna kulit menyerupai lebam habis dipukuli sekujur tubuh.” kata Gagat, dengan tangan memperagakan gerakan pukulan tinju.
Naraya mengangguk, dia menduga itu sebagai tanda kematian livor mortis.
Gagat memundurkan kaki, ketika ada motor yang lewat. Membiarkan Naraya berjalan di depannya. Setelah motor lewat, dia berusaha mengejar langkah teman jalannya.
Naraya menoleh sesaat seirama dengan senyum yang mengembang.
“Lebih dari itu, warna mayat berubah menjadi kehijauan. Tahu Hulk?” tanya Gagat pada Naraya dengan memalingkan wajah pada wanita di sebelahnya yang sibuk menatapi jalanan.
“Iya,” jawab Naraya sambil mengangguk.
“Hampir-hampir seperti itu, tapi lebih pucat.” lanjut Gagat.
Naraya lagi-lagi menandai tanda kematian itu, algor mortis, di mana suhu tubuh mayat telah turun dengan drastis.
“Bersamaan dengan itu empat puluh delapan jam, atau dua hari. Tubuh akan kaku seperti balok kayu.” Gagat masih asyik mendongeng. Tetapi dongeng yang terburai sangat bertolak belakang dengan situasi sekitar yang terkesan romantis.
“Rigor mortis,” desis Naraya.
“Apa?” Gagat menanyakan sesuatu yang keluar dari mulut Naraya.
“Bukan apa-apa,” sahut Naraya mengutas senyum dengan isyarat tidak usah dihiraukan apa yang dikatakan barusan.
“Bisa saya lanjutkan?” tawar Gagat. “Maksudnya kalau tidak berkenan kita membicarakan tentang mayat, kita bisa ganti topik pembicaraan.”
“Lanjutkan saja.” sahut Naraya yang memang tidak keberatan dengan celotehan laki-laki yang mengiringi langkahnya.