Naraya menghadapi buku catatan hasil investigasinya ke lokasi tempat mayat ditemukan, sambil mendengarkan keterangan dari Bidang Humas Polda Semarang berkaitan dengan identifikasi jenazah perempuan malang itu. Dia mendengarkan kembali melalui earphone yang tersambung ke ponselnya.
Setelah dari Polsek Bandungan, dan mendapat info kalau kasus penemuan mayat itu langsung ditangani oleh Polda Semarang. Naraya menjadi lega. Dia jadi tidak perlu bolak-balik ke Polsek Bandungan yang sudah pasti jauh dari kantornya.
Melihat dari keadaan mayat tanpa identitas, tidak adanya bukti dan saksi, serta tidak tahu siapa tersangkanya, Naraya sebenarnya bisa langsung menduga kalau berkas pemeriksaan akan diserahkan ke tingkat yang lebih tinggi. Bagaimanapun yang memiliki unit labfor dan inafis untuk identifikasi korban hanya ada di tingkat Mabes Polri atau Polda.
Naraya lalu mencari info di Polsek yang telanjur dia datangi mengenai; adakah laporan orang hilang di wilayahnya selama satu bulan terakhir. Dan menurut catatan yang ditunjukkan padanya, satu bulan ini tidak ada laporan orang hilang, ada pengaduan bulan lalu tetapi yang dilaporkan hilang berjenis kelamin laki-laki.
Hari berikutnya Naraya mendatangi Polda Semarang. Berharap hasil identifikasi kasar korban, terkait ciri-ciri fisik korban sudah bisa diumumkan. Untuk mendapatkan info tersebut Naraya harus mendatangi bagian humas. Dan seperti biasanya, wajah mereka langsung berubah saat tahu yang datang reporter. Meski mereka tetap berusaha melayani dengan baik, karena Naraya sudah punya KTA yang berfungsi untuk mempermudah akses liputan di lingkungan Polda Jateng.
Begitu Naraya gabung menjadi awak media Majalah Beringas, Ardian langsung mengajaknya ke Polda Jateng untuk didaftarkan penempatan liputan di sana. Naraya merasa tersanjung kala itu. Apalagi, yang punya kartu itu cuma dia dan Ardian. Setidaknya mereka tidak akan mempersulit proses peliputan terkait kasus-kasus yang ada. Biasanya yang sering Naraya datangi bagian reserse kriminal dan humas itu sendiri.
“Jenis kelamin perempuan, umur dua puluh tahunan, tidak sampai dua puluh lima, rambut pendek seleher, tinggi badan 153 sentimeter.” terang Iptu Hasan yang duduk santai di kursi menghadap meja persegi ukuran 1,5 x 2 meter berwarna cokelat muda dan pelisir warna hitam.
Pada ruangan seluas 28 meter persegi, satu jendela besar menatap ke arah Naraya. Di depan jendela tersebut berdiri seperangkat meja kursi kerja, yang di atasnya terdapat laptop. Tak banyak ornamen menghias ruangan itu. Satu buah peta Jawa Tengah yang besar bersanding dengan dua piagam penghargaan, yang Naraya tidak tahu judulnya apa.
Naraya dan Iptu Hasan duduk berhadapan bukan pada meja kerja dekat jendela. Meja yang Naraya hadapi berdiri hampir di tengah ruangan. Itu semacam meja khusus untuk menerima tamu. Tetapi saat duduk di situ sendirian, tanpa teman wartawan lain yang biasanya secara kebetulan ikut meliput, entah mengapa kali ini Naraya merasa seperti sedang menjadi tersangka yang sedang dimintai keterangan. Sementara kaca lebar di sebelah kanannya seolah punya telinga yang ikut mendengarkan.
“Saat ini kami sedang mengirimkan informasi tersebut ke polsek-polsek wilayah Semarang, barangkali ada laporan orang hilang yang ciri fisiknya sama dengan jenazah yang kemarin ditemukan."
“Untuk sebab kematian?” tanya Naraya yang sudah menyalakan perekam di ponsel semenjak pertanyaan pertama terlontar. Ponselnya terbiar di atas meja tepat berada di tengah berteman dengan minuman gelas air mineral yang disajikan untuknya.
“Menurut tim forensik, meninggal karena kedinginan.” ucap pria berwajah bulat dengan kumis tebal.
“Kedinginan?” ulang Naraya merasa aneh dengan pernyataan perwakilan dari bagian humas tersebut.
“Benar, ciri khasnya pada penyempitan di pembuluh darah kapiler. Selain itu, bagian dalam tubuh jenazah terasa lebih dingin dari suhu tubuh bagian luar. Katanya, kalau melihat dari pergerakan belatung, itu terjadi dari luar. Biasanya, kan, belatung akan memakan jaringan lunak terlebih dahulu. Mereka akan menghabiskan isi perut dulu, lalu merayap naik ke permukaan. Ini kebalikannya.”
Naraya manggut-manggut. Dia jadi teringat keterangan Gagat saat melakukan diagnosa awal pada mayat wanita malang tersebut. Semua yang dia katakan benar. Padahal dia bukan lulusan kedokteran forensik atau pernah mengenyam pendidikan yang berkaitan dengan ilmu identifikasi.