Jantung Naraya berdegup kencang. Namun, dia harus berpikir jernih agar bisa lepas dari situasi yang mengancam nyawanya. Sempat terbetik ingin mempraktikkan cara melepaskan diri dari todongan dengan menyerang titik lemah lawan, bisa ulu hati, jempol kaki atau hidung. Ini mengacu pada posisi Naraya sekarang yang tertodong dari belakang. Namun, setelah dipikir-pikir, kalau mau mencoba menyodok ulu hati, dia tidak yakin akan mengenai sasaran. Demikian juga kalau mau nekat menyodok hidung dengan kepala bagian belakang, takutnya malah pusing sendiri. Lalu saat akan menginjak jempol kaki, Naraya tidak tahu pasti di mana letak jempol kaki si penodong, lehernya sama sekali tidak mungkin bergerak.
Sesuatu yang tajam itu terlalu menempel ke kulit leher. Salah gerakan saja, lehernya bisa robek langsung ke nadi. Pilihan berteriak pun menjadi mustahil. Pisau atau apapun yang tajam itu sudah pasti akan menusuknya tanpa ampun. Jadi satu-satunya cara adalah melakukan kompromi, negosiasi dengan penodong, sembari memetakan posisi orang yang sedang mengancamnya agar kalau ada kesempatan menyerang bisa tepat mengenai sasaran.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Naraya dengan suara bergetar.
“Tubuhmu,” sahut orang yang sedang menghunuskan senjata tajam ke lehernya.
Naraya segera berbalik, suara itu tidaklah asing. Bersamaan dengan itu satu tawa telah membahana.
“Sst …!” desis Naraya. “Kamu bisa membangunkan para tetangga.”
“Maaf,” ucap seorang pria sambil menunjukan kunci kontak motor yang tadi dia pakai untuk menodong Naraya.
“Apa-apaan? Mengagetkan saja.” rutuk Naraya sedikit sewot lalu membuka pintu rumah.
“Aku, kan kangen kamu.” ucap laki-laki yang memiliki potongan rambut buzz cut ala tentara. Meski alisnya lebat, kumisnya terlihat lamat-lamat sejalan dengan jambang yang melingkari dagunya. Tidak terlalu tebal, juga tidak terlalu panjang, cukup serasi dengan penampakan wajahnya yang memiliki tatapan tajam. Memiliki aura tangguh dan liar.
Gagat, nama laki-laki itu. Pacar Naraya satu tahun terakhir sejak pertemuan mereka di Gunung Ungaran. Kesan pertama bertemu Gagat, ada kesan simpatik, ramah dan sangat enak diajak mengobrol. Dari Gagat inilah, Naraya bisa mendapatkan info penting tentang korban yang meninggal karena dibunuh kemudian dibuang di jalur pendakian Gunung Ungaran. Meski sampai saat ini kasus Salma belum terpecahkan siapa pelakunya.
Gagat ikut masuk rumah kontrakan Naraya. Setelah menutup pintu, Gagat segera memeluk kekasihnya itu dari belakang.
“Lepas,” Naraya sebenarnya agak risi kalau pacarnya itu main peluk begitu saja. Ada kekhawatiran imannya akan goyah, sehingga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mungkin justru hal itu yang diinginkan oleh Gagat. Tapi Naraya tidak mau.
“Aku benar-benar kangen sama kamu. Cuma memeluk saja. Masa tidak boleh.” ucap Gagat masih belum mau melepaskan Naraya.
Naraya tidak tinggal diam. Dia memberontak dengan cara menginjak jempol kaki Gagat. Seketika laki-laki itu melepaskan pelukannya, rasa sakit di jempol kaki kanannya lebih perlu pertolongan.
“Aduh, sakit Ay!” Gagat spontan memegangi ujung kakinya yang telah terbuka tanpa alas kaki. Sejak berpacaran, Gagat senang memanggil Naraya dengan sebutan ‘Ay’. Yang katanya bisa berarti ayang atau Aya. Sebenarnya Naraya keberatan, panggilan Ay akan mengingatkan dia pada banyak hal yang menyakitkan di masa lalu.
“Makanya jangan macam-macam.” rutuk Naraya lalu meletakkan tas selempang kecil di sofa. Naraya lalu duduk di sebelah tas itu. Sebuah tas yang bisa berubah menjadi tas punggung tergantung situasi. “Sudah malam, kenapa malah datang?”
“Berapa kali aku harus bilang, aku tuh, kangen berat sama kamu. Memangnya kamu enggak kangen sama aku?” Gagat tampak merajuk. Dia lalu duduk tak jauh dari Naraya.
Meski saat dia bekerja terlihat gagah dan liar, entah mengapa Gagat ini bila di depan Naraya menjadi manja.
Naraya tersenyum geli. Terus terang pekerjaannya yang menguras banyak pikiran dan tenaga, sering melupakan kekasihnya itu. “Iya, aku juga kangen.” balas Naraya berbaik hati menanggapi ungkapan sang pacar.
“Nah, gitu dong! Biar tidak merana amat akunya. Kangen sendiri.” kata Gagat. “Gina belum pulang?”
“Mungkin sebentar lagi.” ucap Naraya berbohong. Itu semua dia lakukan agar Gagat tidak meminta menginap di rumah kontrakannya.
Gina yang bekerja sebagai kasir di salah satu supermarket besar di Semarang, bila dapat jatah shift sore pasti pulangnya bisa sampai jam sepuluh lebih. Selain harus berhitung pendapatan, juga harus memastikan jumlah uang yang masuk dengan yang ada di transaksi jual-beli sama. Kalau tidak, siap-siap saja menombok. Hari ini, anggaplah Gina masuk jam sore itu.
“Gimana, ketemu pendakinya?” tanya Naraya yang tahu, seminggu lalu kekasihnya itu harus mencari pendaki yang hilang di Gunung Lawu.
“Tidak ketemu?” sahut Gagat seraya menghela napas.