Naraya mengajak Reni bertemu di kafe dekat Supermarket Big. Kafe sederhana dengan bar barista terbuka yang dikelilingi kursi pelanggan. Kursi kotak yang terbuat dari pallet kayu tanpa cat. Naraya sendiri memilih tempat duduk yang terpisah dari meja bar. Dia mengambil tempat duduk di sisi terluar ruang, dekat kaca bening lebar. Keduanya terlihat serius membicarakan keberadaan Gina.
Sehari sudah Gina tidak bisa dihubungi dan tidak tahu rimbanya. Orang tua Gina bilang putrinya tidak pulang. Tetapi Naraya tidak langsung mengatakan kalau Gina menghilang. Selain karena memang belum ada kepastian, juga menjaga sebentar perasaan mereka berdua.
“Aku sudah menghubungi Akmal, dia bilang sejak kemarin ponsel Gina tidak bisa dihubungi.” lapor Naraya perihal tunangan Gina yang berhasil dia hubungi setelah meminta kontak dari orang tua Gina. “Tetapi dia terdengar biasa. Tidak menjadi khawatir, terlalu tenang. Dan berjanji akan menanyakan pada orang-orang yang kenal dengan Gina di Solo.”
“Begitu? Kenapa kamu tidak bilang kalau ada pesan minta tolong dari Gina?” Reni menyayangkan ketidaktegasan Naraya kali ini.
“Aku cuma berusaha berkepala dingin dulu, Ren. Tidak tergesa mengambil kesimpulan.” bela diri Naraya.
Reni tampak berpikir. Dia memiringkan kepala menimbang perkataan Naraya. “Apa sebaiknya aku mendatangi orang tua Gina langsung? Sabtu nanti sekalian aku pulang rumah.” ucap Reni. “Siapa tahu, saat itu dia sudah ada di rumah.”
“Boleh tuh,” sambut Naraya atas ide menemui orang tua Gina.
Ada harapan besar, Gina hanya bersembunyi untuk sementara di rumah orang tuanya. Meski alasan itu terdengar absurd. Untuk apa bersembunyi dan bersembunyi dari siapa?
“Minggu nanti langsung aku kabari ada tidak Gina di sana. Senin pagi kamu bersiap melapor ke polisi kalau Gina tidak ada. Sudah terhitung empat hari sejak Gina hilang. Seharusnya mereka mau segera menanggapi.”
“Tentu, tapi kamu juga harus bersiap-siap menjadi sasaran investigasi polisi.” Naraya mengingatkan Reni sambil tersenyum.
“Hah? Kok aku jadi ikut-ikutan ditanyai?” protes Reni terlihat enggan. “Duh, kalau tidak usah gimana?”
“Orang pertama yang akan dimintai keterangan oleh polisi jelas aku. Termasuk hal-hal yang berkenaan dengan menghilangnya Gina. Aku rasa, aku akan mengatakan semua yang aku ketahui. Setelah itu mungkin polisi akan menelisir semua orang yang berhubungan dengannya.”
“Kalau gitu, jangan bilang-bilang tentang aku, dong, Na.” pinta Reni dengan mimik seperti mau menangis.
“Memang kenapa? Mereka cuma tanya-tanya, kok. Aku akan menjawab semua pertanyaan dengan jujur. Justru kalau plintat-plintut apalagi sampai menutupi jaringan pertemanan kita, bisa jadi aku malah yang dicurigai.”
“Terus terang aku takut sama polisi.” ucap Reni dengan wajah yang telah berkerut-kerut cemas.
“Kalau yang investigasi polisi ganteng, mau?”
“Memang ada?” Reni jelas tidak percaya.
“Belum tentu ada sih,” Naraya tertawa.
“Duh, gimana ya?” Reni benar-benar terlihat takut bila nanti sampai diwawancarai polisi.
“Kamu pernah ditangkap polisi?” tuduh Naraya akhirnya.
“Ih, amit-amit! Jangan sampai, ketemu aja aku langsung kabur.”
“Biasanya orang yang takut itu pernah atau merasa punya salah.” analisis Naraya.
Reni tampak gelisah. Wajahnya yang semula ada pulasan kemerahan telah berubah pasi. Naraya menjadi curiga.
“Ada sesuatu?” interogasi Naraya.
“Dulu, sewaktu aku masih kecil, tetangga rumah menjadi korban perampokan dan pembunuhan. Situasi sekitar rumah menjadi ramai saat itu. Mobil polisi dengan sirine meraung-raung terus datang hingga memekakan telinga. Dan, setelah itu bapakku ditanyai macam-macam sama salah satu petugas polisi. Mungkin karena aku masih kecil ya, waktu itu, aku hanya berpikir kalau polisi datang akan menangkap orang, apalagi bapakku terus didatangi polisi. Rasanya benar-benar menyeramkan. Dan itu seolah terbawa sampai sekarang.”
Naraya tersenyum memaklumi. “Kamu bisa memanggilku kalau mereka datang.”
“Serius? Memangnya kamu enggak kerja?”