[Nihil.] sahut Reni, ketika Naraya menanyakan hasil pencarian Reni ke rumah orang tua Gina. [Aku jadi merasa bersalah, mereka jadi kebingungan, semua kerabat ditelepon semua. Tapi tidak ada tanda-tanda Gina datang.]
Naraya menekan pelipis kirinya. Tiba-tiba kecemasan mendera kembali. Padahal tadinya dia berharap Gina berada di rumah salah satu kerabat.
“Gimana dengan tunangannya?” tanya Naraya merasa masih ada sepercik harapan.
[Orang tua Gina mencoba menghubungi dia, katanya Gina dari Rabu malam sama sekali tidak menghubungi.]
“Lalu, mereka ingin melaporkan hilangnya Gina tidak?”
[Mereka pasrah, mereka meminta tolong padaku agar membantu mencarinya di Semarang. Berarti besok, kamu harus melapor ke polisi.] kata Reni terdengar resah.
“Baik, itu biar aku yang urus.”
[Oke,] ucap Reni sembari menghela napas. [Aku tutup dulu.]
“Ya,” balas Naraya singkat.
“Belum ketemu?” tanya Gagat.
Naraya menggeleng. “Besok aku harus melapor ke polisi.”
“Mau aku temani?” tawar Gagat.
“Aku bisa sendiri. Kamu harus balik Solo, kan?” ucap Naraya langsung me-reka apa yang akan dilaporkan nanti.
“Baik, aku lupa kalau pacarku ini seorang yang sangat pemberani dan mandiri. Hum … kadang aku, tuh, ingin kamu bergantung padaku.”
Naraya mengerjap, kata-kata Gagat membuatnya menginstropeksi diri, benarkah dirinya terlalu percaya diri. Seolah tidak butuh bantuan orang lain. Bahkan pacarnya saja sampai protes karena dia tidak melibatkannya.
“Bukan begitu, aku cuma tidak mau merepotkan orang lain.”
“Apa aku orang lain bagimu?”
“Sebaiknya kamu jangan bolos kerja.” tandas Naraya. “Ambil jatah cutimu seperlunya, kalau sudah selesai pulang. Nanti kalau aku butuh bantuanmu, aku akan menghubungimu.”
“Beneran, ya?” Gagat memastikan.
Mulai Kamis kemarin Gagat memang mengambil cuti sebagai ganti libur lebaran yang tetap siaga di posko.
“Aku ingin menjadi pacar yang berguna untukmu.” lanjut Gagat.
“Sudah malam, kita pulang yuk.”
“Baik Tuan Putri,” Gagat segera berdiri lalu mempersilakan Naraya melangkah terlebih dahulu melewati meja lesehan.
Keduanya menuju tempat parkir dan menghampiri sebuah mobil jeep yang terparkir di area halaman Masjid Baiturrahman. Gagat membukakan pintu untuk Naraya. Dia melakukan itu dengan berlari kecil, mendahului langkah Naraya sebelum gadis itu membuka pintu mobil sendiri.
Pasalnya dulu, dia telat beberapa langkah. Naraya menolak dibukakan pintu olehnya. Sempat terjadi aksi rebutan buka pintu malah. Gagat waktu itu mengalah membiarkan Naraya membuka pintu sendiri, dan berjanji dalam hati lain kali dia harus lebih gesit demi melayani pacar yang terlalu mandiri.
“Ah ya,” seru Naraya seperti menemukan sesuatu hal yang sangat berharga.”
“Ada apa?” tanya Gagat kaget menoleh pada Naraya yang telah memandang ke arahnya.
“Kita bisa melacak ponsel Gina, kan. Di mana posisinya sekarang?”
“Bisa. Itu kalau ponselnya tidak mati?” Gagat setengah mempertanyakan ide Naraya.