Naraya memperhatikan motor Gina yang masih berada di bengkel. Pihak bengkel sempat curiga dengan kedatangan Naraya yang menanyakan motor seseorang. Berhubung Naraya tidak bermaksud mengambil motor itu, teknisi yang melayani lalu menunjukkan keberadaan motor Gina. Kedatangan Naraya ke bengkel cuma mau memastikan apakah motor Gina masih berada di tempat tersebut.
“Seharusnya Jumat kemarin diambil.” kata Mas Teknisi. “Kami coba hubungi nomornya tapi tidak aktif.”
“Dia teman kontrakan saya, Mas. Sudah tiga hari belum pulang.”
“Pergi ke mana?”
Naraya menggeleng, “Biaya servisnya berapa? Nanti saya bayar dulu.” ucap Naraya pada laki-laki dengan wearpack yang sudah lusuh, namun rambutnya masih beraroma pomade.
“Sebentar, saya tanya kasir dulu.” kata laki-laki itu, lalu bergegas menuju meja administrasi yang berada di dalam ruang kaca mirip akuarium.
Naraya mengikuti langkah teknisi yang terlihat sangat masih muda. Membuka pintu geser, dan menangkap seorang wanita muda yang memiliki rambut bak selendang sutera dengan warna padi siap panen. Wajahnya lengkap dengan tempelan make up, membuatnya tampak seperti mengenakan topeng.
“Silakan, Mbak.” kata Mas Teknisi ketika melihat Naraya menyusulnya, kemudian meninggalkan kubah akuarium ber-AC.
“Makasih ya, Mas.” balas Naraya sebelum Mas Teknisi keluar dari pintu.
Kasir cantik menyebutkan sebuah nominal. Naraya mengeluarkan dompet lalu membayarkan sesuai jumlah di nota.
“Silakan, kembaliannya.” ucap Kasir Cantik mengulurkan uang sisa pembayaran.
“Makasih, Mbak.” kata Naraya terus berjalan keluar, menyapa teknisi yang segera menghentikan langkah Naraya. “Motornya mau diambil kapan Mbak?” tanya si teknisi berambut landak.
“Nanti saya kabari,” kata Naraya. “Nomor telepon bengkel berapa?” tanya Naraya sambil mengambil ponselnya dari tas.
“Di nota pembayaran ada, Mbak.” balas Mas Teknisi mengutas senyum.
“Oh, baik. Nanti saya telepon.” putus Naraya. “Mari, Mas.” pamitnya kemudian menuju mobil dan melaju ke kantor untuk absen fingerprint.
Sudah empat hari Gina menghilang. Keluarga juga tidak menemukan jejak dia pulang ke Solo. Pesan terakhir untuk Naraya menjadi pesan terakhir darinya. Entah mengapa, kali ini Naraya ingin sekali Gina melakukan lelucon. Tak apa, seorang yang pendiam dan serius seperti Gina sesekali membuat satu kejutan seperti April mop. Tetapi, Naraya berharap Gina segera mengakhiri leluconnya ini.
Naraya sudah menyusuri Sungai Banjir Kanal lagi. Jalanan sudah pasti tidak seramai pukul tujuh tadi. Matahari malu-malu menyinar. Seolah ia turut berduka atas hilangnya Gina.
Semakin mendekati kantor, aroma laut tercium samar. Meski tanpa matahari, udara terasa sangat panas. Naraya bisa merasai karena dia sengaja mematikan AC mobil, membuka jendela agar dapat menghirup udara segar pagi hari. Meski seringnya yang didapat Naraya, udara lembab menyengat. Karbondioksida yang telah terlepas sejak pukul setengah tujuh atau malah jam enam tadi, sudah cukup mengotori udara yang suci.
Naraya memarkir mobilnya di depan kantor. Dengan langkah sedikit berat, dia memasuki halaman sempit yang pada sisi kanan pintu telah terisi barisan sepeda motor. Tiba di lobi mirip lobi hotel, Naraya menghampiri alat penanda kehadiran yang dipencet dengan jari. Pukul 07.58 WIB. Alat itu mendeteksi kehadiran Naraya melalui sidik jari pada jam tersebut.
Melewati sisi kiri lobi, Naraya menaiki tangga menuju ruangan editorial tempatnya bersemayam. Sementara untuk ruang administrasi dan pemasaran berada di lantai satu sebelah kanan lobi.
Deretan kubikel menantikan Naraya di ujung koridor. Tempat duduk Naraya berada di ujung terluar dekat toilet. Di situ terdapat delapan kubikel yang mewadahi reporter dengan rubrik tema masing-masing. Antaralain; teknologi dan sains, politik dan pemerintahan, travelling, olahraga, kriminal, otomotif, dunia wanita dan selebrita.