Sang Pemangsa di Gunung Lawu

Xie Nur
Chapter #17

Panel #8

Sebuah bangunan kuno berdiri menanti Naraya. Melihat arsitekturnya sangat mirip dengan bangunan Lawang Sewu yang merupakan ikon kota Semarang. Bangunan tinggi dua lantai dengan banyak jendela menempeli. Lalu terdapat satu teras persegi yang menjorok di atapi bangunan seperti kepala yang jatuh sejajar dengan kedua bahu yang menyentuh tanah.

Naraya melangkahkan kaki memasuki teras yang menyerupai ujung topi. Matanya langsung menumbuk tembok yang kemudian mengarahkannya melihat pada ujung kiri. Di sana terdapat meja lobi dengan dua polwan yang tengah melayani beberapa warga. Di depan meja lobi deretan kursi berbaris rapi saling berhadap-hadapan namun tidak terisi penuh. Saat menoleh lagi pada sisi kiri pintu, Naraya bisa melihat mesin struk antrian berdiri dengan anggun.

Setelah memencet tombol pada kotak setinggi perutnya, Naraya lalu duduk pada kursi yang kosong. Menunggu nomor urut antrian dirinya dipanggil. Kondisi seperti ini sangat mirip dengan pelayanan di bank. Membuat warga yang ingin melakukan pengaduan menjadi nyaman terlebih dahulu. Jauh dari kesan sangar, mungkin juga menakutkan.

Naraya melihat pada nomor antriannya. Di kertas mungil itu tertera angka sepuluh. Tak lama terdengar polwan yang melayani memanggil nomor urut tujuh. Masih tiga antrian lagi. Selagi menunggu, Naraya mengeluarkan buku catatan kecil. Dia lalu mulai menuliskan orang-orang yang terkait dengan Gina sebelum dia menghilang. Supervisor yang ditolak cintanya, pacar Gina yang cemburu, driver ojol yang mengantarnya bekerja, dan pada urutan keempat, Naraya menuliskan satu tanda tanya besar.

Dan mungkin, polisi akan mencurigainya juga sebagai tersangka. Tetapi setidaknya dia punya alibi pada hari kejadian. Seharian itu kebetulan Naraya berada di kantor untuk menyelesaikan deadline. Ada kamera CCTV, dan teman-teman reporter sebagai saksi.

“Nomor urut sepuluh!” Suara salah satu polwan telah menyebutkan angka yang tertera pada kertas kecil yang sedang Naraya pegang.

Dia segera berdiri dan melaju ke sisi kanan, bagian meja lobi yang kosong.

“Ada yang bisa dibantu?” sapa polwan yang memakai hijab rapi, dengan riasan tipis namun, tetap menguatkan kecantikannya.

“Saya mau melaporkan teman saya hilang.” ucap Naraya.

“Sudah tidak pulang berapa hari?” tanya polwan itu sambil mencari sesuatu pada tumpukan berkas yang ada di sisi kanannya.

“Tiga hari,”

“Hubungan dengan terlapor yang hilang?” tanyanya dengan mata yang telah menatap Naraya.

“Teman satu kontrakan.” jawab Naraya.

“Boleh lihat KTP-nya?”

“Oh ya,” Naraya segera mengeluarkan dompetnya. Setelah itu kartu identitas sebagai warga negara Indonesia telah terulur pada polwan yang melayaninya.

Polwan itu lalu memotret kartu identitas Naraya. Bersamaan dengan menyerahkan kartu identitas, polwan itu menyodorkan selembar kertas menyerupai formulir.

Lihat selengkapnya