Naraya memutuskan pergi ke Surakarta pada hari Minggu. Dia mengajak Reni sebagai penunjuk jalan. Tubuhnya mendadak meriang serta panas dalam, karena polisi belum juga bergerak. Rasanya ada sesuatu yang menggerogoti hati dan otaknya hingga memicu satu gerakan frontal, memelesatkan raga Naraya menuju tempat kelahiran Gina. Tujuannya menemui orang tua Gina juga tunangannya.
Naraya sedikit bersyukur, pacar Reni yang datang Sabtu sore kemarin, bersedia menyetir mobil Naraya. Lumayan menghemat tenaga dua jam perjalanan berangkat dan satu setengah jam saat pulang, karena Feri turun di Salatiga. Dan yang paling penting, selama perjalanan menuju Surakarta, Naraya memiliki waktu untuk berpikir bagaimana menghadapi orang tua Gina.
“Kalau Mas Feri, Solonya mana?” tanya Naraya pada tunangan Reni.
“Gilingan, Mbak. Banjarsari.”
“Eh, kita tetangga?”
“Mbak Nara, Gilingan juga?” Feri memastikan.
Reni yang tahu alamat asli Naraya menanggapi dengan tertawa.
“Tetangga desa dan kecamatan maksudnya, saya Mojosongo.” balas Naraya menguntai senyum lebar. Setelah mengerling pada Reni. Rumahnya memang berada di pinggiran Mojosongo merapat ke Gilingan.
"Kami bertiga itu, orang Jebres, lho Say." kata Reni pada Feri yang mengacu pada domisili dirinya, Gina dan Naraya yang satu kecamatan meski beda desa.
“Oh ya … Nanti mau mampir pulang?” tanggap Feri.
“Enggak. Kan, ada kalian.” sahut Naraya mencari alasan.
“Mampir dulu, juga enggak pa-pa kok, Na.” tanggap Reni.
“Sepertinya tidak usah aja, ya. Waktunya mepet. Kita juga harus ke rumah Akmal di Pucang Sawit.” kata Naraya yang menandai antara rumahnya di Mojosongo dengan Pucang Sawit terlalu jauh. Dari ujung ke ujung, seperti dari Sabang sampai Merauke. “Nanti malam kita harus sudah pulang. Besok kita harus nguli tho?”
“Iya, sih.” sahut Reni.
“Berarti nanti kalian cuma mengantar aku, ya.” ucap Feri tertawa kecil. Pacar Reni ini tempat kerjanya di Salatiga, bekerja di salah satu perusahaan besar di kota tersebut. Meski dia aslinya Surakarta.
“Ah, benar itu.” kata Naraya.
Percakapan terhenti lagi. Saat inilah, hembusan pikiran tidak tenang menggerayangi kembali. Bagi Naraya, menghadapi polisi atau narapidana lebih tidak memberatkan daripada bertemu dengan keluarga korban. Ini lebih terasa seakan mau menjalani hukuman mati. Bahkan selepas melewati kawasan kota yang sesak, masuk hamparan areal persawahan yang menghijau panjang, tidak membuat wawasan Naraya menjadi lebih terang. Deretan perbukitan yang acapkali mewarnai sepanjang jalan, juga tidak cukup menyejukkan perasaan yang bergolak.
“Apa Mbak Nara pernah ketemu dengan orang tua Gina?” tanya Feri.
“Belum, hanya berkenalan lewat telepon, saat aku tanya tentang keberadaan Gina waktu itu.” ucap Naraya.