“Paling dia hanya ingin membuat sensasi.” ucap Akmal sungguh di luar dugaan Naraya dan Reni. Keduanya yang duduk berdampingan saling melirik dengan menahan napas. Rumah kontrakan Akmal yang bertipe 21 membiarkan area rumah itu terbuka hingga terlihat dapurnya. Dua pintu berdiri berjejer menghadap ke arah Naraya dan Reni yang menempati kursi sudut bagian tengah. Sementara Feri dan Akmal duduk saling berhadapan.
“Kamu sama sekali tidak mengkhawatirkan Gina?” tanya Naraya yang mengubah posisi duduknya menyerong ke arah Akmal.
“Yah, karena aku yakin dia baik-baik saja. Setelah ngambeknya selesai, pasti dia akan muncul dengan sendirinya.” Kesan arogan masih berkuasa.
“Memangnya dia ngambek kenapa?” buru Naraya.
“Nanti bisa kamu tanyakan sendiri sama dia, kalau sudah muncul.” jawab Akmal acuh tak acuh.
“Jadi kamu penyebab Gina marah?” tuduh Reni langsung.
“Kenapa aku?” ujar cowok yang mempunyai tatanan rambut licin belah samping. “Lagi pula dia yang bilang sendiri akan pergi dengan pria lain. Oh ya, bisa jadi dia memang pergi dengan pria itu. Pria yang katanya jatuh cinta sama dia.” Akmal bicara sambil menaikkan dagunya beberapa senti. Dia bicara seolah menyalahkan Gina karena telah membuat supervisornya jatuh cinta.
Alasan yang aneh. Bukankah jatuh cinta itu perasaan yang datangnya tidak dapat dikontrol oleh manusia. Dalam hal ini, Naraya tidak mau menyalahkan Dwian yang tiba-tiba jatuh cinta pada Gina yang notabene sudah punya tunangan.
“Coba kalau dia tidak bertingkah genit, pasti orang itu tidak jatuh hati padanya.” ucap Akmal sungguh membuat Reni ingin menamparnya.
Melihat tunangannya kelihatan naik darah. Feri yang duduk beradu lutut dengan Reni segera mencengkeram tangan pacarnya itu.
“Gina bukan gadis seperti yang kamu bilang.” Naraya membela Gina. “Memangnya sudah berapa lama kamu kenal Gina. Sampai tidak tahu watak tunangan sendiri.”
“Yah, bisa aja, kan. Itu hanya kamuflase. Wajah sendunya itu, sebenarnya menyimpan kebinalan.”
“Kamu ngomong apa sih?” sergah Reni. “Kamu seperti bukan tunangannya saja.”
“Hmm, baiklah.” Akmal melengos ke arah lain sejenak, tepatnya ke arah pintu keluar berwarna putih yang bersanding dengan jendela rumah yang berteralis putih. Kemudian menatap pada ketiga tamunya satu persatu. “Sebenarnya kami bertunangan bukan karena saling cinta.”
Naraya membelalakkan mata lalu mencari wajah Reni yang duduk di sisinya. Muka Reni terlihat merah menyala. Feri masih menggenggam tangan kekasihnya. Naraya kembali memandang Akmal untuk mendengar kata lanjutannya.
“Kami dijodohkan oleh keluarga. Aku tidak bisa menolak karena hutang budi orang tuaku pada orang tua Gina.”
“Hutang budi apa?” lontar Naraya.
“Itu tidak bisa aku katakan di sini.”
“Itulah kenapa kamu bersikap seolah tidak peduli pada Gina?” Naraya berkata menyimpulkan. “Tapi kata Gina kamu sempat marah karena ada yang menyukainya? Kenapa?”
“Yah, karena dia tunanganku.” kata Akmal sungguh bias.
“Kamu bilang tidak cinta?” tuntut Naraya.
“Harga diriku yang terluka.” ucap Akmal sungguh sangat terbuka. “Seharusnya kami putus dulu, baru dia mencari pria lain. Kenapa dia malah sudah kegenitan menarik lawan jenis lain.”