Pukul setengah satu, Naraya bersama Reni dan Feri meninggalkan rumah kontrakan Akmal di jalan Porong. Atas usul Reni, mereka menuju rumah makan Timlo Solo. Katanya dia ingin makan yang panas tapi menyegarkan. Feri melajukan kendaraan milik Naraya menuju Jalan Jend. Urip Sumoharjo sesuai rekomendasi Reni. Nanti dari situ ke rumahnya tidak terlalu jauh, tinggal lurus lalu belok ke kanan masuk ke Jalan Damar. Rencananya mereka akan istirahat dan salat di rumah Reni.
Mengenai kenapa tidak makan saja di rumah Reni. Itu karena, Naraya bilang tidak usah merepotkan orang tua Reni. Kalau mereka bisa makan di luar, kenapa tidak. Syukur membelikan sekalian makan siang untuk orang tua Reni.
Naraya sempat berdebat dengan Reni mengenai hal itu. Reni bilang sih, tidak apa, kalau mereka makan siang di rumahnya. Orang tuanya pasti akan menerima dengan tangan terbuka. Namun, Naraya tetap menolak. Dia bersikeras dengan mengatakan ingin mentraktir Reni dan Feri makan siang. Sebagai tanda terima kasih, katanya, karena sudah mau menemani mengunjungi rumah orang tua Gina. Pasalnya Gagat saat ini sedang ada tugas pencarian orang tenggelam di sungai Bengawan Solo.
Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan yang berarti. Masing-masing sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Naraya terus berpikir, adakah jalan cerita seseorang benar-benar seperti dalam sebuah drama. Tetapi bukankah, cerita drama seringkali berasal dari kehidupan nyata. Setidaknya, penulis mengambil sebuah gambaran dunia nyata yang kemudian dia tintakan dengan penambahan skenario yang lebih manis, dramatis. Tentu saja, semua itu demi tuntutan pembaca yang selalu ingin mencari kisah yang menggulung-gulung hati dalam angan indah.
Sementara itu, Reni yang masih belum sembuh dari aura merah yang tadi hampir menghanguskan mereka semua, mulutnya terlihat maju beberapa milimeter. Napasnya juga terkadang terdengar dihempas kasar. AC dalam mobil yang dingin, tampaknya tidak bisa meredam panas yang sempat memanggang hatinya. Sama seperti cuaca yang hari ini terik tidak biasa di musim penghujan.
Lalu lintas siang ini tidak terlalu ramai. Setelah melewati empat persimpangan jalan yang mengharuskan mobil membelok ke arah kiri, sampailah mereka di simpang terakhir, masuk ke jalan Urip Sumoharjo, tetapi Reni memberi kode agar mobil masuk ke jalan kecil di sebelah jalan raya tersebut.
Empat puluh dua meter kemudian, Reni menghentikan mobil merapat ke sisi kiri masuk dalam area parkir yang sempit. Meski area depan tampak sesak, namun ketika kaki menjejak ke dalam restoran wawasan yang luas terpampang. Jarak antar meja pun cukup jauh, sehingga sangat mendukung anjuran akan menjaga jarak selama akhir masa pandemi.
Reni yang berjalan di depan, mengarah pada meja yang berada di tepi tembok sebelah kiri yang di atasnya bertengger kipas angin. Tak lama kemudian pelayan datang menyodorkan daftar menu.
“Nah, silakan, pesan makanan yang kalian suka. Jangan sungkan.” kata Naraya sebagai penjamu yang baik
“Oke, kuharap ucapanmu bukan basa-basi.” balas Reni lalu tanpa membaca menu, dia langsung memesan timlo solo komplit, sepiring tempe bacem dan es tape. Naraya memesan menu utama sama dengan Reni, hanya dia memilih minum es teh. Sementara itu Feri memilih rawon dan minum es tape seperti kekasihnya. Reni dan Feri juga memesan air mineral sebagai minuman yang sebenarnya.
Selagi menunggu, Naraya menanyakan perihal Gina dan Akmal kepada Reni.
“Akmal itu kayak penulis novel, pandai mengarang cerita.” tanggap Reni.
“Gina memangnya bilang gimana tentang Akmal?” Naraya seolah tidak sabar ingin segera tahu cerita versi Reni.
“Gina tidak pernah cerita sama kamu?” Reni balik bertanya.