“Kamu bukan polisi, kan?” Mata laki-laki berkulit bersih, dengan tatanan rambut di tarik ke belakang, memicing curiga. Naraya sempat berpikir, berapa banyak pomade yang digunakan agar rambutnya itu tidak jatuh ke depan. Dwian terlihat tidak suka ketika Reni mengajak Naraya menemuinya. Demi investigasi atas menghilangnya Gina, terpaksa Naraya mendatangi orang itu.
“Bukan,” sahut Naraya sembari memasang senyum ramah, seolah tidak terpengaruh oleh kerucut di mulut Dwian. “Saya wartawan Majalah Beringas,” Naraya mengeluarkan kartu nama, meski zaman sekarang kartu nama itu terkesan jadul. Tetapi, bagi Naraya kartu nama cukup penting, selain untuk mengenalkan diri juga sekaligus mempromosikan Majalah Beringas. Baru enam bulan ini Naraya menggunakan kartu nama untuk memperkenalkan diri. Sebelumnya dia hanya menyodorkan name tag.
Bukan tipe orang yang ramah. Identifikasi pertama Naraya tentang Dwian. Pria dengan rambut disisir licin ini, memiliki mata seperti rubah. Senyum yang sempat teruntai ketika Reni memperkenalkan dirinya juga terkesan tidak tulus, dipaksakan. Apalagi setelah tahu kedatangan Naraya, ingin bertanya mengenai hubungannya dengan Gina.
“Saya sama sekali tidak ada hubungan dengan Gina.” kata Dwian ketus. “Lagian kamu bukan polisi, kenapa tanya-tanya? Meski tentu saja kamu wartawan.”
Naraya terpaksa menelan napas. Orang seperti Dwian ini bukan tipe orang yang mudah diajak bekerja sama. Perlu daya upaya tinggi agar dia mau meluangkan waktu mengobrol sejenak dengannya.
“Bagaimana kalau kita mengobrol di Starbucks?” tawar Naraya berupaya membujuk Dwian dengan mengajaknya ngopi di tempat yang elit.
“Kamu mau menyogok saya?” cetusnya sambil menaikkan satu alisnya.
“Kita bisa mengobrol dengan tenang di sana.” dalih Naraya, memang ada benarnya. Sangat jarang, kan, orang yang mengopi di sana. Mengingat harga kopinya lebih ditujukan untuk kantong para sultan. Namun, demi lancarnya wawancara, Naraya pikir tidak masalah mengeluarkan uang lebih.
Dwian melihat arlojinya yang terlihat seperti jam tangan mahal merek terkenal, tetapi Naraya tahu itu bukan jam tangan original. “Maaf, tapi saya harus kembali bekerja.”
Melihat dari penampilan Dwian yang rapi, Naraya bisa memindai pria itu tipe orang yang senang bekerja. Tetapi tidak sampai workaholic. Karena menurut Reni, Dwian selalu pulang tepat waktu, tidak pernah melebihi jam kantor. Dan yang pasti, sogokannya tidak mempan untuk Dwian.
Menurut Reni sebagai rekan kerjanya. Dwian merupakan anak tunggal dari keluarga yang cukup berada. Tak heran jika sikapnya sedikit sombong. Menganggap dirinya raja yang titahnya harus dilakanakan segera. Orang yang terbiasa mendapatkan apapun yang diinginkannya dengan mudah, pasti sangat suka memaksa. Mendengar penjelasan dari Reni tersebut, Naraya merasa menemukan satu titik lemah dari Dwian yang bisa menjadi tersangka. Meski masih dalam tataran praduga. Dan, praduganya itu sangat mungkin salah. Tetapi tidak ada salahnya menandai.
Seperti Reynhart Sinaga, pelaku perkosaan 48 pria di Inggris yang teranalisa sebagai anak yang terlalu dimanja. Di umurnya yang 36 tahun, masih mendapat kiriman uang dari orang tua dan hidup mewah tanpa melakukan satu pekerjaan paruh waktu apapun. Hal seperti itu lama-lama memunculkan satu kebiasaan yang mengarahkannya menjadi raja. Sekali tunjuk langsung mendapat yang dia inginkan. Berkuasa untuk menjadi predator yang memangsa korbannya.
“Baik, mungkin bisa lain kali,” tawar Naraya.
“Saya tidak bisa menjanjikan.” ucap Dwian lalu memberi kode bahwa dia harus segera masuk ke ruangan.
Reni dan Naraya yang berdiri di depan ruang administrasi supermarket di Siliwangi saling pandang sejenak. Reni menangkupkan tangan tanda menyesal.
“Nggak apa,” sahut Naraya. “Kamu masuklah, aku kembali ke kantor.” Tangannya mengacungkan ibu jari mengarah ke belakang.
“Maaf ya, Ra. Kalau saja aku bisa mewawancarainya. Tapi dia pasti juga akan pasang tampang seperti mau berkelahi.”
Naraya mengangguk lalu berjalan satu langkah ke belakang Reni dan mendorongnya agar masuk ke pintu kantor. “Tenang saja, aku akan cari cara agar dia mau bicara sama aku.”
Reni membuka pintu berkaca oval memanjang. Sebelum tenggelam ke dalam pintu tersebut, dia melambaikan tangan ke arah Naraya pada bukaan pintu yang menganga separuh.