Selagi menunggu hari Minggu esok untuk mendatangi Feri pacar Reni. Naraya mencoba mendatangi Dwian lagi. Pantang menyerah bukan sifat Naraya. Entah sudah berapa kali dia memburu Dwian agar mau bicara padanya mengenai alibinya di hari Gina menghilang. Naraya sampai rela menunggu jam pulang Dwian di samping pintu keluar lalu mengikuti langkahnya sampai ke tempat parkir. Kalau saja satpam tidak menghalaunya waktu itu, Naraya pasti akan terus memepetnya hingga ke tempat parkir mobil.
Hari ini Naraya telah berdiri di depan mobil city car berwarna hitam. Sebelumnya dia menandai mobil Dwian itu, dengan mencatat plat nomornya. Bahkan seenak hati Naraya meletakkan pantatnya di kap honda jazz yang mengkilat.
“Heh, kamu lagi!” dengkusnya menatap Naraya seperti melihat sales MLM yang gigih menjajakan barang dagangannya. Dwian lalu membuka kunci mobil sehingga mengeluarkan satu lengking kecil. “Minggir, jangan duduk di situ.”
“Hai,” sapa Naraya berusaha memasang muka tembok.
Dwian tidak mengacuhkan terus melangkah menuju pintu kemudi. Namun, tak disangka Naraya berlari kecil menyelinap masuk ke sisi lain pintu mobil. Dia bahkan menutup pintu hampir bersamaan dengan Dwian.
Laki-laki berkacamata itu kaget mendapati Naraya sudah duduk di sampingnya.
“Keluar!” usir Dwian sambil menunjuk ke arah pintu.
“Aku perlu alibimu pada hari Gina menghilang. Setelah kamu cerita dengan terang beserta bukti dan ada saksi mata yang bisa menguatkan, aku akan keluar.”
“Baik, aku akan telepon polisi karena ada wanita yang menguntitku.” ucap Dwian telah mengeluarkan ponselnya.
“Tak masalah, mungkin polisi juga sekalian melakukan investigasi.” tanggap Naraya. “Aku sudah membuat laporan ke polisi. Tapi sepertinya mereka lama merespon laporanku itu. Mungkin setelah ini, mereka mau mempertimbangkan.” Naraya mengatakan itu dengan pandangan lurus ke depan, seolah dia sedang bicara pada dirinya sendiri.
Dwian terdengar menghempas napas keras. “Pergi ke mana kamu, Gin? Jangan merepotkan orang lain seperti ini.” keluh Dwian kemudian.
Naraya menoleh ke arah laki-laki yang kalau diperhatikan dengan saksama sebenarnya tidak terlalu buruk rupa. Masih ada manis-manisnya, kalau dia tidak mengerut-kerutkan keningnya.
“Pada Kamis, tanggal 18 November 2021. Setelah pulang kerja kamu langsung ke mana?” interogasi Naraya langsung.
“Langsung pulang rumah. Ada mamaku di rumah yang menjadi saksi.”
“Baik, mari kita segera meluncur ke rumahmu.” kata Naraya seenak hati.
“Ngapain?” Dwian protes keras.
“Aku harus bertemu dengan mamamu juga.” Naraya nyengir.
Dwian menatap ke depan dengan menggelengkan kepala. Tangannya lalu menyalakan mobil. “Oke, tapi setelah ini, sebaiknya kamu enyah dari hadapanku.” tandasnya.
“Setuju tanpa syarat. Tapi mungkin polisi yang ganti memburumu.” kata Naraya lalu memakai sabuk pengaman. “Kamu tidak pakai sabuk pengaman?” Naraya mengingatkan Dwian, ketika laki-laki itu mulai melajukan mobilnya.
Tidak ada tanggapan. Laki-laki itu sedang konsentrasi menyetir melewati lorong jalan keluar dari tempat parkir. Hingga tiba di jalan raya, barulah Naraya bertanya lagi.
“Setelah itu, malam harinya kamu pergi ke mana?” Naraya tidak peduli lagi soal Dwian yang tidak memakai sabuk pengaman. Resiko ditanggung penumpang kalau terjadi kecelakaan.
“Tidur,”
“Oh ya, manis sekali. Jam sembilan sudah tidur?” Naraya memandang Dwian menyangsikan. Selama PPKM, supermarket hanya diperbolehkan buka hingga pukul tujuh. Jadi perkiraan Gina pulang mestinya sekitar pukul delapan, tentu setelah melakukan hitung-menghitung hasil pendapatan hari itu.
“Kamu boleh tanya mamaku.”
“Baik, anak mama, ya.” senyum tipis menguar dari mulut Naraya. “Ah ya, sebelum itu, katanya kamu sering menawari tumpangan pada Gina, betul begitu?”
“Iya, tapi dia menolak. Padahal aku sudah bilang akan siap menjemputnya di pagi hari, ketika dia menyatakan penolakan dengan alasan membawa sepeda motor.”