Tiba-tiba Dwian menghentikan mobilnya kira-kira dua ratus meter dari ujung persimpangan sebelumnya. Naraya hanya berpikir, bahwa dia tidak mesti keluar agar aman. Lagi pula gerimis masih menggarisi udara. Siapa tahu si Dwian ini berencana menjebaknya keluar lalu meninggalkannya di tanah pekuburan. Dalam kondisi seperti ini berpikir negatif menurut Naraya, sah-sah saja. Daripada nanti dia yang kerepotan. Bisa, sih, pesan ojek online. Tetapi, tetap saja. Menjelang Magrib di tengah hujan dan di kuburan. Bisa dibayangkan bagaimana suasananya. Seram sedap, pasti!
“Kamu mau ziarah?” tanya Naraya untuk mengusir penasaran.
“Benar,” katanya lalu membuka pintu mobil dan keluar. Bahkan pertanyaan Naraya yang terlontar ingin tahu makam siapa hanya terjawab dentuman pintu yang ditutup.
Dwian berjalan ke arah kiri lalu mendaki undakan yang tingginya kurang lebih satu setengah meter. Berhubung penasaran, pikiran buruk menjadi menghilang. Naraya ikut keluar dan mengikuti jejak Dwian. Membiarkan rintik hujan menyirami tubuhnya. Suara pintu mobil yang terkunci mengagetkan Naraya. Dia sontak mendongak, dan mendapati Dwian memperhatikannya.
Naraya kemudian menaiki tangga dari adukan semen yang mulai rusak. Tangan kanannya memegang tas untuk memayungi kepala. Dia lalu memandang area sekitar yang lumayan lengang. Mungkin karena hari yang telah makin menyenja serta hujan yang menyapa. Sementara Dwian terus melangkah lurus searah tangga hingga di ujung makam. Dia lalu duduk bersimpuh pada satu kotakan batu marmer dengan jumlah batu nisan tiga buah, seperti makam tiga anggota keluarganya di Surakarta. Bedanya makam keluarganya tanpa kotakan permanen, hanya diberi sekat batuan dan nisan patok dari batu granit. Naraya melangkahkan kaki lebih dekat untuk melihat makam siapa yang Dwian kunjungi.
Laki-laki itu menundukkan kepala cukup lama. Naraya berdiri canggung kurang lebih satu setengah meter darinya. Tulisan yang tertera terlalu kecil untuk terbaca. Sepuluh menit Dwian bersimpuh menundukkan kepala lalu memandangi tiga batu nisan yang terdampar di depannya. Melihat tiga buah nisan itu serta merta mengingatkan Naraya pada makam ayah, ibu dan saudara kembarnya. Nuansa biru seketika mengurung keduanya. Ada perasaan sama rasa menaungi. Kehilangan tiga anggota keluarga pastilah terasa hampa.
Satu desahan panjang menjulangkan kembali tubuh Dwian. Laki-laki itu memandang ke arah Naraya yang tidak tahu bagaimana harus berekspresi. Memasang wajah bersimpati atau muka berduka? Ketika Dwian mulai melangkah, Naraya buru-buru balik badan dan berjalan mendahului. Dia jelas tidak mau suasana hatinya yang mendadak sendu terbaca olehnya. Terlebih lagi dia tidak mau, apa yang menjadi pikiran buruknya sewaktu masuk kemari tadi menjadi kenyataan. Ditinggalkan di area pemakaman sendirian, meskipun, tahulah, area pemakaman di perkotaan tidak bisa dibilang sepi. Pengecualian sore ini.
Naraya yang melangkah cepat tiba terlebih dahulu di depan pintu mobil Dwian. Begitu terdengar bahwa pintu telah terbuka, Naraya langsung masuk dan duduk manis sembari menunggu Dwian yang sedang membayar uang parkir.
Setelah melakukan percakapan singkat dengan tukang parkir, Dwian masuk mobil. Menyalakan mesin, lalu membuka pintu kacanya. Secara tidak terduga laki-laki yang kini matanya fokus pada spion memundurkan mobilnya. Naraya pikir itu terlalu nekat, melaju mundur pada turunan kalau tidak ada yang memandu pasti sulit. Tetapi tukang parkir yang tadi Dwian bayar melaksanakan tugasnya dengan baik. Mobil Dwian berhasil keluar dari jalan sempit nan menanjak dan kini telah menghadap ke arah jalan pulang.
“Terima kasih, Mas!” seru Dwian sebelum menutup kaca mobil. Selanjutnya mobil yang ditumpangi Naraya telah melaju pelan.
“Tadi makam siapa?” tanya Naraya.
“Ayah, kakak dan adikku.” ucapan Dwian langsung menjawab pertanyaan Naraya sebelum masuk gang. “Hari ini hari ulang tahun mereka. Karena itu aku harus tetap mengunjungi mereka apapun yang terjadi. Tidak bisa diganggu gugat.” tandasnya diakhir. Dan semua itu menjawab keingintahuan Naraya. Kenapa hujan begini tetap ziarah? Seperti tidak ada lain hari saja.
"Beneran mereka ultah barengan?" tanya Naraya.