Sebuah dehaman menghentikan suasana karau yang tercipta. Untunglah Naraya memakai masker hingga tetesan air yang mengalir dari matanya langsung terserap kain masker. Seorang wanita berumur lima puluhan, dengan wajah tidak jauh berbeda dari yang di foto tersenyum menyambut Naraya. Bedanya wanita yang berdiri di depannya sekarang mengenakan kerudung, sementara yang di foto masih menampakkan rambut yang digelung rapi.
“Perkenalkan, ini Mamaku.” ucap Dwian.
“Naraya,” Tangan Naraya telah mengulur salim pada mama Dwian. Sempat ragu-ragu haruskah dia salim atau hanya menangkupkan tangan, sesuai anjuran prokes yang masih berkumandang.
Tak dinyana mama Dwian tanpa sungkan menyambut tangannya. Bahkan beliau keluar tanpa menggunakan masker. Untunglah, Naraya masih taat menggunakan masker. Setidaknya, air liurnya tidak muncrat keluar bila ternyata dirinya tersuspek positif corona tetapi tanpa gejala, sehingga tidak meracun secara langsung kepada mama Dwian.
“Mari, mari silakan duduk.” sambutnya ramah.
“Iya Bu, makasih.”
“Loh, matamu kok merah?” tanya Mama Dwian yang ternyata awas dengan tamunya.
“Oh, ini tadi kelilipan.” balas Naraya menyembunyikan perasaannya yang teraduk-aduk. Pokoknya sebisa mungkin dia tidak boleh mengatakan siapa dirinya terkait foto yang ada di ruang tamu itu.
“Begitu,” ujarnya, lalu berkata pada Dwian. “Yan, bisa ambilkan obat tetes mata buat Mbak Naraya.”
Dwian ikut memperhatikan mata Naraya. Gerak selanjutnya dia sudah berdiri tanpa berkomentar.
“Eh, tidak usah Bu!” Naraya cepat-cepat mencegahnya. “Sudah tidak apa-apa.”
Dwian menatap Naraya lalu ke mamanya. Dia seperti menunggu keputusan dari sang mama.
“Silakan duduk lagi.” ucap Naraya setengah memerintah Dwian yang tampak bimbang. Dia lalu duduk setengah menunggu instruksi dari mamanya.
“Kalau kelilipan, tidak boleh dikucek, lho. Bisa iritasi.” ucap mama Dwian. “Beneran, enggak butuh?” Mama Dwian memastikan. Sementara Dwian sendiri tertangkap menghempas napas.
“Iya, Bu.” ucap Naraya. “Tadi sudah saya kedip-kedipkan sampai keluar air mata. Dan sekarang aman terkendali.” Naraya membuka matanya lebar. Dia yakin, kini skleranya pasti telah berwarna putih kembali.
Mama Dwian tertawa kecil. “Oh baik,” ucapnya. “Enggak jadi, Yan.” tolehnya pada Dwian. “Jadi kamu teman kontrakan Gina?” tanya Mama Dwian sambil menatap tajam pada Naraya. “Ah, anak itu anak yang baik,” desahnya seraya mengenang. “Dan lagi, entah kenapa wajahnya sangat mirip dengan Trias, adik Dwian.” Lagi-lagi terdengar desahnya. “Corona benar-benar merenggut banyak hal, ya.” Senyum satir tertampil.
“Saya juga kehilangan ibu saya karena corona.” tutur Naraya mendadak terbawa suasana pilu. Kalau saja hatinya belum tertempa, pasti air matanya akan menetes lebih deras. Padahal dikala ibunya meninggal, ayahnya baru satu tahun menghadap Sang Pencipta karena stroke.
Naraya kini menjadi anak yatim piatu, tanpa saudara sekandung pun. Seolah hidup sebatang kara. Meski keluarga Naraya, pakde-bude atau om-tantenya yang di Surakarta selalu menyuruhnya pulang ke rumah mereka, daripada mendatangi rumah kosong. Tetapi Naraya selalu merasa tidak nyaman bersama keluarga besar orang tua. Bukan karena mereka tidak baik. Lebih pada perasaan nelangsa akibat tatapan iba dari mereka. Mungkin juga perasaan takut akan kehilangan mereka lagi.
Benar Naraya terkadang merana, tetapi bila tidak ada yang memulai mengasihani, dia pasti akan baik-baik saja. Kesepian pasti ada, namun, hidup bukan sekadar tentang berduka, meratapi masa lalu, dan mengurung diri dengan luka. Hidup itu tentang memetakan langkah ke depan mau bagaimana setelah satu peristiwa datang menghajar jiwa raga.
“Ternyata kita senasib.” kata mama Dwian menghapus air matanya. “Tapi ayah kamu masih ada?”
Naraya menggeleng.
“Oh gitu, yang tabah ya, Nak.”
Dwian menatap Naraya antara iba dan tidak menyangka. Dia lalu mengelus lengan mamanya. Naraya sendiri sekuat tenaga tidak ikut terlarut dalam suasana nestapa.
“Ah ya,” Mama Dwian menyusut air mata hingga tuntas. “Apa benar, keberadaan Gina belum diketahui?” tanyanya.