Sang Pemangsa di Gunung Lawu

Xie Nur
Chapter #29

Jejak #11

Naraya mendesah, saat melihat mobil jeep Gagat telah berada di depan rumah kontrakannya. Padahal dia berniat ingin meletakkan pikirannya yang penat di atas bantal barang sejenak. Setelah mematikan mesin, Naraya segera turun dari mobilnya. Melangkah pelan seakan mengukur seberapa dalam hatinya pada Gagat.

Aneh, memang. Bila banyak pasangan marah-marah, merajuk bila sehari tidak bertemu, Naraya justru merasa terganggu, merasa tidak bebas, sedikit terbeban bagaimana dia harus bersikap manis pada pacarnya. Entah mengapa, Naraya merasa nyaman saat Gagat tidak ada di sekitarnya. Ataukah, sesungguhnya dia tidak mencintai Gagat? 

Naraya juga tidak mengerti apa yang dimaui oleh hatinya. Bergelut dengan dunia kriminal membuatnya selalu waspada. Tak terkecuali terhadap pacarnya itu. Sikap Gagat memang baik, terlampau manis malah. Wanita lain mungkin sudah seperti es krim tanpa kulkas pendingin. Namun, dirinya terkadang merasa geli, bergidik. Sesekali menyembul sensasi ngeri.

“Baru pulang?” tanya Gagat yang langsung berdiri dari kursi bambu, ketika melihat Naraya memasuki gerbang.

“Iya,” sahut Naraya lesu. Perjalanan ke Salatiga kali ini cukup menguras tenaga dan pikiran. Naraya melangkah hingga tepat depan Gagat yang memandangnya dengan senyum ceria. Seperti biasa. Seolah hidupnya tidak pernah ada beban. Tidak pernah merasa lelah. “Kamu sendiri, apa korbannya sudah ketemu?”

“Sudah tadi pagi, makanya aku langsung meluncur kemari.” balas Gagat. “Sepertinya kamu terlihat lelah.” Gagat membuka tangannya lebar, siap menerima pelukan dari sang kekasih.

“Begitulah,” Naraya berdiri di tempat. Memandang Gagat beberapa detik, lalu berjalan begitu saja melewatinya. “Kamu sendiri apa tidak capek, setelah nge-SAR terus kemari.”

“Rasa kangen mengalahkan rasa capek itu.” tutur Gagat menguntit langkah Naraya. “Oh ya, bagaimana dengan pengakuan pacar Reni?” tanya Gagat yang sempat mencelos, tawaran pelukan untuk menenangkan kekasihnya itu tidak mendapat tanggapan.

“Sama-sama ada orang ketiga di hati mereka?” kata Naraya sambil membuka pintu rumah.

“LDR memang sulit. Untung hatiku tidak mudah goyah.” balas Gagat berbuah tolehan kepala Naraya dengan cibiran terlontar. “Hei, aku berkata sebenarnya,” Gagat memburu Naraya yang sudah tenggelam melewati ambang pintu yang terbuka lebar. “Bagaimana denganmu?”

“Apa?” sahut Naraya seraya menghempaskan tubuh ke sofa. Kepalanya dia tengadahkan,

“Adakah seseorang yang menggoda hatimu?” Gagat merapatkan tubuhnya pada Naraya, menarik kepala kekasihnya agar bersandar ke bahunya.

Naraya menggeleng di atas bahu Gagat. Hatinya sedari dulu, memang tidak mudah jatuh hati pada laki-laki. Mungkin juga karena Naraya menetapkan standar yang tinggi. Lalu kenapa dia mau berpacaran dengan Gagat. Tentu, karena laki-laki itu mendekati standar yang terbentuk di otak bawah sadar Naraya.

“Syukurlah,” Gagat mencium pucuk kepala Naraya lalu membelainya. “Aku tuh, sangat cinta sama kamu.”

“Kupikir kamu enggak datang kemari.” Naraya melepaskan diri dari rengkuhan Gagat. Semalam Naraya mengirim pesan bahwa pagi ini dia akan ke Salatiga mewawancarai Feri. Dia juga berpesan, tidak usah datang ke rumah kontrakannya. Tetapi nyatanya Gagat tetap menunggunya. “Sudah berapa lama kamu menunggu?”

“Kurang lebih dua jam,”

“Serius?”

Gagat ganti meraih tangan Naraya. “Buat kamu, apapun akan aku lakukan.”

Tiba-tiba Naraya terbatuk. Dia seperti tersedak ludah sendiri. Gagat berdiri dengan gerakan cepat menuju dapur mengambilkan air untuk Naraya.

Lihat selengkapnya