Pagi sekali Naraya sudah menempel selebaran di sekitar Supermarket Big dan perumahan tempat Naraya dan Gina mengontrak. Selagi belum banyak orang berkeliaran, meski deru kendaraan di jalanan telah menyemburkan kepulan karbondioksida di pagi yang segar.
Setelah beberapa selebaran tertempel pada tempat strategis, Naraya pulang untuk bersiap bekerja. Dia juga perlu menanyakan pada orang tata usaha sudah adakah yang menelepon terkait iklan orang hilang di Majalah Online Beringas.
Begitu tiba di kantor, Naraya tidak mau membuang waktu lagi. Dia langsung membelok ke kanan, pada pintu kaca lain yang telah tampak para staf telah mulai bekerja sambil bercakap-cakap.
“Selamat pagi!” dering suara Naraya terdengar seiring pintu yang membuka.
“Pagi, Mbak Nara.” sahut Mas Vito yang paling keras. “Mencari diriku, kah?”
Senyum teruntai, Naraya melaju pada meja sisi kanan dengan sekat pembatas setinggi dada, mirip kubikel di ruangannya tetapi sisi-sisinya tidak rapat. Hanya bagian depan yang tersekat. Bagian dalam setelah melewati sekat berpintu buka ke dalam oke, buka keluar juga oke, terbentang ruangan terbuka.
“Daku tak butuh kau!” balas Naraya tertawa kecil.
“Ya, habis manis sepah dibuang, nasibku ni.” Vito si Mas Humas langsung melayu lunglai di kursinya.
“Memang kamu ada manis-manisnya?” timpal Lina.
“Nggak percaya, boleh cicip.” balas Teo menantang.
“Ndak usah, udah kelihatan sepat!” sahut Herdi yang segera memaling pada Naraya yang telah berdiri di depan mejanya. Herdiana atau nama panggilannya Si Mbak Penjual Surat karena dia mengurusi bagian persuratan.
“Digulain Mbak, biar nggak sepat.” tanggap Naraya.
“Dih, ogah!” sambar Herdi cepat. “Ada yang bisa dibantu?” Herdi telah mendongak pada Naraya.
“Sudah ada telepon yang menyangkut orang hilang?” tanya Naraya tak mau basa-basi terlalu lama.
“Tanyalah pada Mas Vito,” sahut Herdi dengan tangan membuka membentuk sekop ke arah Vito yang duduknya sebaris dengannya.
“Nah, kan. Akhirnya ketemu aku juga.” ujar Vito sambil bersedekap bersikap sok jual mahal.
“Eh,” Naraya menyentuh keningnya pakai tangan kiri sembari menutupi bagian matanya. Dengan malu-malu Naraya beringsut ke arah Vito. “Maaf Mas, lagi gagal fokus, nih,”
“Kemarin enggak diapelin pacar atau malah overdosis?” goda Pak Nabil sang ketua kelas tata usaha.
“Ada, deh, Pak!” balas Naraya masih mengulum malu. “Mas Vito ganteng,” panggil Naraya sedikit merayu. “Sudah ada yang telepon terkait iklan orang hilang belum, yah?” ucapnya seketika langsung ingin muntah. Tidak pernah, kan yang namanya Naraya bersikap sok manja macam itu.
“Nggak cocok, nggak cocok!” sergah Lina.
Naraya merengut pura-pura.
“Baik, berhubung pagi ini kamu sudah memujiku. Akan aku beritahu. Kalau telepon masuk ada beberapa kali. Tetapi semuanya ngaco. Tidak ada yang serius mengetahui tentang Gina, temanmu itu, Gina, kan?” Vito memastikan pada Naraya yang membalas dengan anggukan. “Malah tanya-tanya enggak jelas. Masih mending yang tanya ada imbalannya enggak.”
Naraya mengangguk lagi. Bisa memaklumi. Mencari orang hilang itu terasa mencari jarum di tengah padang rumput. Tidak mudah. Harus sabar. Mungkin sampai terlupa, nanti bertemu dengan sendirinya. Tetapi itu tidak boleh terjadi. Bagaimanapun Gina harus segera ketemu dalam kondisi apa pun.
Naraya meraup wajahnya. Dia memandang pada semua awak bagian administrasi.
“Baik, kalau ada yang menelepon dan tahu persis mengenai Gina. Bisa berikan nomor teleponku padanya, Mas.”
“Oke!” Vito mengacungkan ibu jarinya.