Begitu masuk terali besi yang merupakan pintu gerbang kos Reni, Naraya bingung. Tidak ada satu orang pun yang tampak berada di luar kamar. Model kos Reni yang membentuk lorong letter U, semua pintu yang saling berhadapan tertutup rapat. Reni sendiri, tidak mau mengangkat telepon dari Naraya. Apa iya, dia harus mengetuk pintu satu persatu?
Terpaksa Naraya keluar dari area kos lagi, kemudian menelepon Feri menanyakan keberadaan kamar tunangannya itu. Naraya menjadi bersyukur, karena Feri tetap kooperatif membantunya.
Naraya sekali lagi masuk area kos yang dari luar tampak seperti penjara. Bedanya pintu-pintu kamarnya dari kayu, bukan jeruji besi. Langkah kaki Naraya menuju salah satu pintu yang berada lurus di depannya menghadap pintu jeruji luar.
Saat mendekati pintu Reni, tiba-tiba pintu di ujung sebelum masuk teras kamar Reni terbuka. Orang itu kaget, pun demikian dengan Naraya yang sedang berusaha berjalan dengan tenang agar langkah kakinya tidak mengganggu para penghuni kamar lain.
“Eh, kaget!” kata wanita dengan rambut dikuncir asal. “Mencari siapa, Mbak?” sapanya kemudian.
“Reni ada?”
“Sepertinya ada, sebentar ya, saya panggilkan.” katanya menutup pintu kamar sendiri melangkah ke kamar Reni. Tangannya lalu mengetuk pelan, “Ren!” panggil wanita yang umurnya sepantar dengannya.
Tak lama, terdengar pintu kamar dibuka. Satu kepala melongok keluar tanpa memperlihatkan batang tubuhnya.
“Ada apa?” tanya Reni pada si pengetuk pintu.
“Ada yang cari,” kata wanita berkuncir.
Sejurus kemudian mata Reni telah menangkap kehadiran Naraya.
“Hai, Ren!” sapa Naraya melompat ke pintu.
Reni terdengar melenguh dan dengan terpaksa membuka pintu lebih lebar. Sementara itu teman kos Reni telah berpamitan, melangkah lurus menuju satu ruang yang terdeteksi sebagai dapur. Terlihat dari kompor dan tempat cucian piring yang menghadap lurus Naraya sewaktu dia membelok ke arah kamar Reni.
“Makasih, Mbak!” seru Naraya pada teman kos Reni. Detik itu juga Naraya menduga, Reni tidak akan mau membuka pintu bila bukan karena temannya itu.
“Masuk!” katanya dengan nada memerintah.
Ragu-ragu Naraya memasuki kamar Reni. Sebuah karpet warna biru terhampar dengan meja lesehan menepi pada ujung tembok lurus pintu.
“Ambil tempat duduk sesukamu.” cetusnya lagi lalu menghampiri ranjang pendek dan bersemayam di atasnya.
“Berapa harga kos sebulan?” tanya Naraya ingin berbasa-basi sejenak. Lagi pula dia benar penasaran dengan harga tempat kos Reni.
“Sejuta sebulan, kenapa? Mau pindah kos?” Reni memiringkan kepala.
Naraya menggeleng tidak yakin. Saat seperti ini dia merasa tinggal di tempat kos lebih menyenangkan dari mengontrak rumah sendiri. Ada banyak tetangga kamar yang bisa diajak mengobrol, meski dia tidak mau terjadi kedekatan yang intens dengan penghuni lain. Setidaknya mendengar suara-suara derap kaki di sekitar, cekikik dari kamar sebelah atau percakapan keras-keras dari teman yang lain cukup membuat keriuhan hati Naraya.
“Belum tahu, lagi pula jatah kontrak masih dua tahun lagi.”