Pagi menjelang. Setiap menit kemudian terlalui dengan berdebar. Naraya meminta izin pulang siang. Ada sedikit kecurigaan dari pasangan suami istri itu, kenapa dirinya tidak juga pergi setelah katanya akan menginap semalam saja. Untuk menjawab itu, Naraya akhirnya menggunakan Dwian sebagai alasan.
“Apa pagi ini, Bapak-Ibu ada acara keluar?” tanya Naraya saat dijamu sarapan pagi.
“Tidak ada, Mbak,” jawab Pak Tontowi. “Pensiunan seperti saya, tidak ada yang dikerjakan.”
“Begitu? Begini, saya sedang menunggu teman. Jadi apa boleh saya tinggal hingga teman itu datang?” tanya Naraya meski orang tua Gina tidak bertanya.
“Ya, tentu boleh,” sahut Bu Rohana yang menghidangkan sarapan untuk mereka bertiga dengan menu lauk sederhana. Tumis kacang panjang dan telur dadar. Tetapi bagi Naraya itu sudah sesuatu yang bermakna. Sarapan bersama dengan pasangan yang seperti gambaran orang tuanya.
Ini menjadi nostalgia. Makan bersama dengan ayah dan ibu terakhir kali terjadi tiga tahun lalu. Sebelum ayah Naraya meninggal. Cukup menyesal kenapa sebelum itu, dia tidak sering menyempatkan pulang ke rumah agar bisa menikmati lebih banyak momen makan bersama.
“Baik, terima kasih banyak.” tanggap Naraya.
Setelah sarapan, Naraya membantu Bu Rohana mencuci piring. Ketika Bu Rohana mengatakan mau mandi, Naraya memilih mondar-mandir di teras. Sementara itu Pak Tontowi berpamitan keluar ingin ke kebun.
Belum ada balasan juga dari Gagat. Dia sedikit paham, pasti kekasihnya itu sedang sibuk mengemas jenazah, atau mungkin malah sedang menandu menempuhi jalanan turun nan terjal. Menurut Gagat, perkiraan perjalanan evakuasi bisa memakan waktu kurang lebih lima jam. Naraya lalu berhitung, memperkirakan tubuh mati Gina sampai di dasar gunung, bisa jadi setelah makan siang.
Cukup menyesal tadi malam tidak mengindahkan saran Gagat, agar dia berangkat pagi saja. Menunggu bersama orang tua Gina ternyata lebih meresahkan dari yang dia kira. Sekarang, dia tidak tahu harus berdalih apalagi sembari menunggu Dwian datang.
Apa sekarang dia berangkat ke basecamp Cemoro Sewu saja? Sehingga nanti bisa langsung membawa jenazah Gina ke Solo, tidak perlu menunggu lama prosedur identifikasi jenazah. Tetapi bagaimana dengan orang tua Gina. Mereka pasti membutuhkan tumpangan untuk menjenguk anaknya yang sudah tidak bernyawa.
Naraya melihat penanda waktu pada ponsel. Masih empat jam lagi. Saat duduk di kursi teras dengan gundah, sebuah mobil telah terparkir di belakang mobilnya. Naraya mengamati mobil yang pernah dia kenal. Tak lama kemudian satu wajah dengan gaya yang berbeda melihat ke area rumah dengan ekspresi ragu sejenak, namun ketika matanya menemukan Naraya, dia menjadi yakin dan terus melaju ke arah pintu pagar.
Sejenak Naraya tidak mengenali Dwian yang pernah dia lihat sebelumnya. Tadi hampir saja Naraya tidak mengenali Dwian. Model rambutnya kali ini berubah menjuntai lemas dari satu titik garis lurus di tengah. Tidak seperti saat Naraya sering menemuinya di kantor, rambutnya tersisir ke belakang saling melekat, seolah mereka ditempel menggunakan lem super kuat sehingga tidak akan jatuh walau kepala jungkir balik.
Dan, wajah itu terasa sangat familiar. Datang dari kenangan masa lalu, membuat Naraya terpana sesaat.
“Hai!” sapa Dwian sambil melambaikan tangan, menggugah mata terpaku Naraya.
“Oh, ketemu juga. Reni yang memberitahumu?” tanya Naraya.
Dwian mengangguk masih berdiri di tempat. Dia lalu melongok ke arah pintu yang terbuka. “Orang tua Gina ada?”
“Ibu, ada. Bapak sedang ke kebun,” jawab Naraya. “Tunggu, aku akan panggilkan beliau.”
Selepas Naraya masuk, Dwian menduduki kursi bambu yang memanjang, atau lincak yang warna pernisnya telah memudar.