Menggunakan petunjuk dari peta daring, Naraya nekat menyusul ke Cemoro Sewu. Berharap saja, peta daring itu tidak menyesatkannya ke areal persawahan yang berujung di sungai. Satu jam empat puluh dua menit, waktu yang diestimasikan pada rute perjalanan. Naraya tidak terlalu yakin, meski jalanan tidak terlalu ramai. Dia tidak bisa membayangkan bila perjalanan yang dia tempuhi sekarang terjadi di akhir pekan. Dua jam perjalanan tidak akan cukup hingga menyeberang ke telatah Jawa Timur.
Perasaan ingin segera sampai membuat Naraya menginjak pedal gas kencang. Fokus pandangan mata Naraya lurus ke depan. Apalagi samping kanan-kiri hanya berupa perumahan warga yang menurut Naraya tak jauh beda dengan yang ada di Semarang, meski di sini tidak terlalu berhimpit-himpitan. Tetapi tetap saja membuat dada Naraya terasa sesak.
Barulah setelah masuk pertigaan jalur alternatif lain, kompleks perumahan makin menyusut jarang, berganti areal persawahan. Terus berselang-seling antara areal persawahan dengan kompleks rumah warga. Bahkan ketika telah berada di Jalan Raya Matesih-Tawangmangu, perbukitan menghijau sesekali menyegarkan mata yang penuh debu. Naraya pikir berada di kawasan yang dominan hijau, tidak memerlukan banyak air mata atau obat tetes mata untuk membersihkan penglihatan yang memburam.
Mendekati objek wisata Tawangmangu, berbagai penginapan dan hotel menghiasi pinggir jalan. Beberapa plang penunjuk satu objek wisata acapkali mewarnai penglihatan Naraya. Bila saat ini dia sedang berkendara untuk tamasya, tentu mobilnya otomatis akan mengarah ke sana.
The Lawu Park menjadi penanda jalan berikutnya yang berkelok-kelok tajam. Sedikit khawatir mobil tuanya tidak sanggup merayapi tanjakan yang kadang menukik secara tiba-tiba. Pada area ini, Naraya mengurangi kecepatan laju mobil. Merambat pasti seperti siput menjadi pilihan Naraya dari pada terjerumus ke jurang.
Setengah jam kemudian, Naraya tiba di area yang lebih mirip tempat wisata pada ketinggian 1.800 mdpl. Warung-warung permanen berjejer rapi pada sisi kanan menghamparkan pelataran parkir yang luas. Di samping kanan, tulisan besar ‘Cemoro Kandang’ berwarna kuning, sering menjadi tempat berfoto para pendatang, atau pengendara yang kebetulan lewat. Sejauh mata memandang, sekitar pos pendakian Cemoro Kandang telah banyak tumbuh tempat wisata, di antaranya Sakura Hills dan Wisata Bukit Mongkrang.
Masih sepuluh menit lagi hingga tiba di Basecamp Cemoro Sewu. Setelah melewati gerbang perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur jalan aspal di depan terlihat basah. Hati Naraya pun tiba-tiba menjadi berdebar. Bukan karena akan segera bertemu dengan kekasih hati. Namun, lebih pada sanggupkah dia menyongsong jenazah Gina dalam buntalan kain terpal.
Naraya pikir sebentar lagi dia pasti akan menemukan titik naik ke Gunung Lawu lain yang paling familiar. Benar saja, akhirnya tulisan besar Cemoro Sewu dengan menampilkan suasana mirip pasar terjelang. Naraya memperlambat laju mobil melihat keadaan di sisi kiri tepatnya di belakang tulisan Cemoro Sewu. Setengah ragu-ragu Naraya membelokkan mobil ke arah tersebut, masuk pada area parkir mobil yang berada di sisi kiri untuk menabrak bangunan basecamp Cemoro Sewu yang lumayan ramai. Beberapa anggota polisi tampak berdiri di sekitar basecamp yang mirip sebuah warung makan.
Aku sudah di Basecamp Cemoro Sewu.
Naraya mengirim pesan pada Gagat sebelum turun membuka pintu mobil. Mata Naraya lalu mengawasi sekitar tempat parkir. Ada mobil polisi terparkir pada ujung bagian dalam menghadap basecamp, ambulance dan mobil bertuliskan basarnas menempati satu ruang di dekat mobilnya membelakangi basecamp, dekat jalur keluar masuk area parkir. Gerak selanjutnya dia telah melangkah menemui anggota polisi yang sedang duduk-duduk di depan basecamp.
“Siang, Pak!” sapa Naraya pada dua orang anggota polisi yang sedang terlibat pada percakapan yang seru. Satu orang mengenakan topi dan satunya tidak menggunakan masker sehingga memperlihatkan kumisnya.
“Siang, gimana Mbak?” tanggap polisi yang memakai topi, setengah mendongak pada Naraya.
“Maaf, mau tanya, jenazah yang ditemukan di Sumur Jalatunda apa sudah sampai bawah ya, Pak?” tanya Naraya langsung.
“Mbake ini siapa?” tanya polisi satunya.
“Saya temannya,” ucap Naraya seakan melupakan logika, bahwa setelah ini bisa jadi dia akan diinterogasi oleh mereka. Tak mengapa, dalihnya kemudian. Lagipula akan lebih mudah mengawal jenazah Gina bila dia mengaku sebagai teman, bukan wartawan. Meski resikonya tentu dia akan mendapat banyak pertanyaan terkait hilangnya Gina. Naraya harus siap jiwa raga menghadapi berbagai pertanyaan itu nanti.
“Mungkin sebentar lagi, mereka sampai,” sahut si kumis.
“Sebelum itu, mari, Mbake masuk dulu!” Polisi bertopi menggiring Naraya masuk ke basecamp. Di sana ada polisi lain yang sedang duduk di depan meja. Naraya dipersilakan duduk di hadapan polisi berkulit agak terang dan bermata kecil mencorong.
Polisi bertopi yang tadi dia temui mengatakan secara singkat tentang Naraya yang mengaku sebagai teman jenazah yang ditemukan. Setelah mengatakan itu, dia melangkah keluar.
“Bawa KTP?” tanya polisi bernama Roni. Tulisan besar di sebelah kanan bisa langsung mengindentifikasi nama petugas polisi yang sedang dia hadapi.