Bu Rohana tidak bisa mengendalikan diri, begitu turun dari mobil dan melihat Naraya yang tengah berdiri menyambutnya, dia langsung menghambur ke pelukan teman anaknya itu.
“Itu bukan, Gina, kan?” Tangis histeris Bu Rohana terdengar memilukan. “Pasti salah!” Bu Rohana mengguncang tubuh Naraya meminta jawaban yang diinginkan.
Naraya bergeming. Dia tidak bisa menjawab dengan pasti, jujur dan lugas. Sewaktu Naraya diberi kesempatan melihat jasad yang terbelit lakban, wajah Gina terlihat tidak lengkap, karena hanya bagian hidung yang terlihat jelas. Mata jasad itu mengintip malu-malu melalui celah lutut. Saat ini petugas medis yang akan melakukan visum tengah berusaha mengurai lakban yang mengurung tubuh Gina.
“Ayo, Bu. Kita pastikan ke dalam dulu.” Pak Tontowi mencoba melepas cengkeraman tangan istrinya pada lengan Naraya.
Wanita yang kini mengenakan kerudung abu-abu itu melonggarkan cengkeramannya. Dia menatap Naraya dengan sinar memohon. Naraya yang matanya telah memerah memalingkan muka. Dia tidak kuasa memandang wajah seorang ibu yang tengah berduka.
“Ayo,” Pak Tontowi menarik paksa istrinya.
Tangan Bu Rohana jatuh melemah, dia lalu bergerak seiring laju langkah yang memapahnya pergi.
Naraya menoleh, menyaksikan langkah-langkah tertatih menuju ruang pengharapan yang mungkin kosong. Entah, bagaimana nanti perasaan mereka ketika mendapati jenazah anaknya dalam kondisi yang memprihatinkan.
Sebuah tangan telah merengkuh dan mendudukkannya kembali. Selanjutnya tangan itu segera menggenggam tangan kanan Naraya. Kelegaan menyelinap seketika. Dia menjadi sedikit tenang, karena ada Gagat yang kini menjadi pegangannya.
“Benarkah itu jenazah Gina?” Sebuah suara mendongakkan kepala Naraya yang semula terkulai di bahu Gagat.
Naraya mengangguk. “Sekilas,” sahutnya kemudian. Dia sendiri kaget melihat Dwian telah berdiri satu jengkal di sisi tempat duduk yang berada di luar ruang unit gawat darurat Puskesmas Plaosan. Dia juga tidak menyangka kalau Dwian yang akhirnya membawa orang tua Gina menyusul ke Plaosan.
“Memangnya bagaimana kondisi jenazahnya?” Dwian yang semula berdiri seolah menantang tulisan UGD pada latar merah, kemudian duduk di sebelah Naraya dengan melebihkan satu bangku.
“Kondisinya tertekuk dan terlilit lakban.” Gagat yang menyahuti.
“Penjahat laknat!” desis Dwian mengepalkan kedua kanannya di atas paha. “Bisakah diurai tanpa merusak jenazah?” tanya Dwian lagi.
Naraya menggeleng. Gagat mengangkat bahu.
“Apa sih, maunya orang itu,” gerutu Dwian. “Kenapa tidak hanya membunuh saja. Kenapa mesti membuat tubuh korbannya menderita setelah mati.”
Tidak ada kata-kata balasan dari Naraya dan Gagat. Dwian pun lalu ikut diam. Dia kini meratapi nasib Gina yang menurutnya sangat mengenaskan. Hanya berharap, jasad yang ditemukan itu hanya seorang yang mirip dengan Gina.