Sang Pemangsa di Gunung Lawu

Xie Nur
Chapter #38

Rubrik #5

Menjelang asar, Naraya dan Gagat yang mengawal jenazah Gina atas permintaan Pak Tontowi, tiba di RSUD dr. Moewardi. Tentu saja, untuk dapat melakukan autopsi mereka harus mengantongi tanda tangan persetujuan dari keluarga yang dibawa Dwian sebelum prosedur pembedahan mayat dimulai.

Itu menjadi perjuangan berat bagi Dwian merayu pasangan suami istri itu agar merelakan jenazah putrinya diautopsi. Sesuai saran Naraya, bila autopsi dilakukan, tubuh Gina akan sekalian dibersihkan dari rekatan lakban yang belum terurai sempurna di Puskesmas Plaosan. Setelah berpikir lama, akhirnya keduanya menyetujui. 

Dan bila mengikuti aturan yang benar, seharusnya jenazah Gina perlu di bawa ke Semarang untuk autopsi di sana. Mengingat berkas laporan orang hilang tercantum di Polsek Semarang Barat. Akan tetapi, Pak Tontowi dan Bu Rohana tidak setuju bila tubuh putrinya itu harus dibawa jauh ke Semarang. Jadilah, autopsi dilakukan di Surakarta, baru laporan hasil autopsi diserahkan ke Polsek atau mungkin Polres yang akan menangani nanti.

Naraya, Gagat dan Dwian menunggu di depan ruang pemulasaraan. Menurut petugas, autopsi akan berlangsung kurang lebih dua setengah jam. Yang berarti Magrib nanti proses autopsi baru akan selesai. 

“Mau ke rumah Gina dulu?” tawar Dwian pada Naraya dan Gagat.

“Kami menunggu di sini saja,” kata Naraya mewakili Gagat. Lagipula Naraya masih merasa tidak enak karena tadi memaksakan kehendaknya untuk mengautopsi Gina.

Tetapi bagaimanapun, kasus ini harus jelas akhirnya. Naraya tidak suka pada kasus yang menggantung dan terus menjadi misteri seperti beberapa kasus yang pernah dia tuliskan. Setelah tahu hasil autopsi, mungkin nanti bisa dipetakan motif dari pelaku. Samakah juga dengan mayat yang ditemukan di Gunung Ungaran waktu itu.

“Baik, aku juga akan menunggu di sini.” ujar Dwian yang masih dalam posisi berdiri, dan tadi sempat mondar-mandir gelisah.

“Ngomong-ngomong kamu terlihat beda?” ucap Naraya spontan sembari menatap Dwian yang tercengang mendengar perkataan Naraya.

“Oh ini,” sambut Dwian sambil menyugar rambutnya ke belakang. Tetapi rambutnya itu kembali jatuh ke depan dengan anggun. Ada bias memerah tertangkap dari matanya. “Saya kalau bekerja ingin tampil lebih rapi.”

“Aku tidak tahu kalian sedekat itu?” Gagat menyela.

“Ah, iya. Perkenalkan ini Dwian, yang pernah aku ceritakan waktu itu.” Naraya memperkenalkan Dwian pada Gagat. Memang, selama pertemuan siang tadi di Puskesmas Plaosan, keduanya belum berkenalan secara benar.

Gagat mengulurkan tangannya, “Gagat,” ucapnya sembari menjabat erat tangan Dwian. “Saya pacar Naraya,” kata penegasan Gagat membuat Naraya tersenyum simpul. 

Apakah pacarnya itu cemburu? Sesuatu yang jarang terjadi pada Gagat. Selama menjalin hubungan dengan laki-laki itu, Gagat tidak terlihat posesif sama sekali. Maksudnya mereka berdua tidak harus berteleponan dua jam sekali atau yang harus segera mengangkat telepon bila dihubungi. Tanpa kesepakatan, keduanya tampaknya saling menyadari kesibukan masing-masing, sehingga tidak ada tuntutan yang berlebihan selama menjalani LDR.

Itulah yang membuat Naraya merasa nyaman bersama dengan Gagat. Dia juga bisa santai menjalani hubungan percintaan tersebut. Tidak harus selalu berdua yang memaksakan. Sebagai wartawan yang harus mengejar berita, terkadang Naraya memang suka beredar ke sana kemari.

“Saya Dwian, teman dekat Gina.” sambut Dwian terlihat bereaksi kaget karena tangannya mendapat genggaman yang kuat.

“Dwian,” ulang Gagat. “Yah, silakan duduk di sini.” tunjuk Gagat pada kursi besi yang berderet di sampingnya.

Dwian mengikuti ucapan Gagat. “Oh ya, jadi apa hasil visum dari Puskesmas Plaosan?” tanyanya untuk memecah sunyi yang hampir hadir. Selama perjalanan mengantar orang tua Gina, Dwian sama sekali tidak berani menanyakan diagnosis awal tentang kematian Gina.

“Penyebab kematian terduga karena hipotermia. Tidak ada tanda kekerasan fisik,” terang Naraya. “Setelah ini kita akan tahu, adakah Gina mendapatkan kekerasan seksual atau sesuatu yang lain tentang bagian dalam tubuhnya.” Naraya teringat mayat di Gunung Ungaran terdapat jejak obat tidur di lambung korban.

Lihat selengkapnya