Leher Naraya terasa tercekik. Selanjutnya dia seakan telah terlempar ke dalam liang lahat menggantikan posisi Gina. Panik, Naraya menggebrak peti mayat dengan segenap tenaga. Sia-sia, deburan tanah telah menggempur atap peti matinya. Naraya menjerit. Namun, suaranya terdengar seperti mencicit. Lalu sebuah tangan tiba-tiba mengulur padanya, menariknya dari ruang hampa udara.
“Kamu nggak pa-pa?” Suara berbisik Gagat menghalau denging kesunyian dalam diri Naraya. Tangannya telah menggenggam jemari kekasihnya. “Tanganmu dingin sekali.”
Naraya menggeleng. Gagat semakin menggenggam erat jemari Naraya.
Beberapa pria masih menyekop tanah untuk menutup peti mati yang memuat Gina. Tubuh Gina yang rusak, membuatnya dikubur dengan kotak berwarna biru, sesuai dengan warna kesukaan gadis itu.
Tadi sewaktu upacara menghantar jenazah, Bu Rohana yang ingin mengikuti acara tersebut berkali-kali pingsan. Ketika siuman dia yang dibawa ke kamar, selalu minta keluar, namun berakhir dengan pingsan lagi. Saat arak-arakan mulai berangkat, beliau bahkan belum tersadar dari kehilangan jiwanya.
Naraya sungguh merasa iba. Gambaran ibunya dulu terlihat nyata kembali saat ini. Bahkan gambaran dia yang seolah terkubur di peti mati itu menggantikan saudara kembarnya kali ini terjadi lagi.
Setelah mendoakan Gina untuk terakhir kali. Orang-orang yang mengantar jenazah Gina hingga ke tanah pekuburan, satu persatu undur diri. Desahan, bisik-bisik memenuhi hamparan nisan yang tampak merana.
Gagat menarik tangan Naraya agar mengikuti arus meninggalkan Gina yang telah menemukan tempat terakhirnya. Setengah enggan, dia pun melangkah terseret ayunan kaki Gagat.
Keluar area tempat batu nisan bertumbuh, mata Naraya menumbuk sosok yang sangat ingin dia tanyai segera. Naraya melepaskan genggaman tangan Gagat. Langkahnya kini telah seperti harimau yang sedang mengincar mangsa. Akmal yang tengah menaiki motornya kaget ketika Naraya telah berdiri tepat di depan roda motornya.
“Apa maksud dari foto ini?” Naraya telah mengacungkan satu foto di mana Akmal melingkarkan tangannya ke bahu Gina dan ber-setting puncak Gunung Lawu. Memang itu bukan foto berdua, selain mereka ada beberapa anak lain yang menyertai. Bahkan dua diantaranya yang berjongkok membentangkan bendera Pramuka.
Akmal memelototi foto itu. Reaksinya tampak terkejut. “Dari mana kamu dapat foto itu? Apa Gina membawanya ke kontrakan, dan kamu melakukan penggeledahan atas barang-barangnya?”