Sang Pemangsa di Gunung Lawu

Xie Nur
Chapter #40

Rubrik #7

Ibarat pohon, Bu Rohana tengah layu. Air yang seharusnya dia serap untuk bertahan hidup malah dia keluarkan tiada habisnya. Kering. Mungkin sebentar lagi yang keluar dari matanya adalah darah.

Naraya menatap Bu Rohana kuyu, wajahnya sudah seperti petinju yang wajahnya terus kena hantaman lawan. Masih memerah di sekitar area mata mata, hidung dan mulutnya. Naraya mendadak bisu, tak bisa mengucapkan satu kata pamitan yang telah berlarian di kepala.

“Kami pulang dulu, Pak, Bu.” Gagat mewakili Naraya undur diri, setelah beberapa saat mereka duduk dalam diam seolah orang asing yang bertemu di suatu kendaraan. Hanya mata saling tatap. Enggan, menyapa atau berkata-kata.

Bu Rohana yang duduk menyandarkan kepala pada salah satu kerabat perempuannya tidak bereaksi. Pak Tontowi mengangguk dan selepas membuang napas berujar, “Berhati-hatilah kalian.”

Satu persatu secara bergantian, Naraya dan Gagat, bahkan Dwian dan Reni menyalami keduanya. Bu Rohana terisak kembali manakala Naraya dan Reni menyentuh tangannya. Dia bahkan menggenggam erat jemari kedua gadis itu seakan enggan melepaskan.

“Bu, mereka harus pulang.” Pak Tontowi mengingatkan.

Bu Rohana menatap suaminya, lalu melepaskan Naraya dan Reni yang tertahan. “Jaga diri kalian, jangan mengalami hal yang sama seperti Gina,” ucapnya terbata.

Naraya dan Reni mengangguk tak dapat mengeluarkan kata balasan. Keduanya kemudian melangkah keluar dan menghirup udara yang bebas aroma duka.

Tangan Gagat telah mengulur pada Naraya. Gadis itu berusaha tersenyum lalu menggenggam tangan pacarnya erat. Mereka berjalan beriringan menuju mobil yang terparkir jauh dari halaman rumah.

Sebelum masuk ke mobil, tiba-tiba Naraya melangkah menghampiri seseorang yang tertangkap mata tengah berjalan di depannya. Dia melangkah dengan cepat, memburu orang itu. Tepat saat orang tersebut mencapai mobilnya, membuka pintu mobil, Naraya segera mencekal pintu agar tidak terbuka.

“Kamu punya motor sport, kan?” tuding Naraya tanpa basa-basi.

Dwian mengerutkan kening, dia lalu menghempaskan pintu mobil agar tertutup kembali. Dia harus menghadapi Naraya yang kali ini sering hilang akal dengan benar. “Tidak.”

“Kata Reni,” Kepala Naraya menunduk ke dalam mobil mencari wajah gadis yang telah memberinya informasi itu, dia menatap Naraya dengan tergagap. “kamu punya motor sport?” Mata Naraya telah berganti menghakimi Dwian lagi. “Dia pernah melihatmu mengendarai motor itu. Benar, kan, Ren?”

Dwian melirik ke arah Reni. Tentu tanpa melihat pada gadis itu yang telah tersembunyi di bawah kap mobil. “Oh, itu punya saudara sepupuku. Kebetulan dia sedang berkunjung ke rumah. Dan kedatangannya juga belum lama ini.”

“Bisa aku mengkonfirmasi ke saudara sepupumu itu?” tanya Naraya tanpa melepaskan ekspresi curiga.

“Tentu, kamu bisa meneleponnya dan bertanya.” Dwian mengeluarkan ponsel dari tas selempang kecil. Dia pun lalu menggerak-gerakkan tangannya di atas layar benda tipis itu. Tak lama berselang, satu bunyi kecil menguing terdengar dari dalam tas Naraya.

“Ay!” Gagat telah menyusul dan menarik lembut tangan Naraya. “Ayo!”

Naraya menatap tajam Dwian sebelum mengikuti arahan tangan Gagat yang sudah melingkarkan tangan ke bahunya, melajukan tubuh Naraya agar meninggalkan mobil Dwian. Kata maaf, teruntai lirih dari mulut Gagat seiring tolehan kepala yang mengangguk.

  ***

  “Besok memangnya kamu enggak ngantor?” Naraya mengingatkan Gagat, saat mengantarnya ke salah satu penginapan di Karanganyar. Bukannya memesan ojek online, Gagat malah ikut masuk ke ruang lobi dan memesan kamar.

Tadi Naraya ngotot ingin menelusur jejak Gina di Lawu, meski Gagat menawarkan agar menginap di rumahnya, di Surakarta. Jadilah mereka berkendara kembali menuju Karanganyar. Selama menempuhi perjalanan balik, Naraya sempat tertidur meski jarak yang tertempuh hanya memakan waktu satu jam. Namun bagi Naraya, itu sangat cukup membuatnya segar dan dapat berpikir dengan jernih lagi.

Gagat memang berbaik hati mau mengantar Naraya mencari penginapan di sekitar kota Karanganyar. Tidak mudah memang, apalagi banyak yang statusnya masih tutup. Beruntung mereka mendapatkan satu penginapan di pinggir kota yang buka.

Lihat selengkapnya