Kembali ke Cemoro Sewu menjadi sensasi tersendiri bagi Naraya. Bila kemarin, dia mengendarai mobil tanpa tengok kiri-kanan, kali ini dia bisa berkendara dengan santai. Jalanan yang berkelak-kelok memacu adrenalin baru terasai sekarang. Demikian pun dengan pemandangan yang penuh warna hijau bukan abu-abu, atau warna-warni tatanan batu bata yang menjulang. Terkesan damai menyenangkan. Bukan sesak nan menggelisahkan.
Gerimis tipis mewarnai kembali. Seakan turut berduka atas kepergian Gina. Tanpa memakai payung Naraya menghampiri salah satu kaki dari gerbang masuk yang menyerupai ruang pos satpam. Ada lubang persegi yang bersebelahan dengan tulisan Perhutani. Saat mengintip ke lubang itu, tidak ada satu orang pun bersemayam di sana.
Naraya lalu menggeserkan kaki ke kanan, menerawang ke depan sambil melangkahkan kaki melewati pintu gerbang beratap, sebelum kaki kembali menapaki tangga. Tiba di tangga teratas, di sana terdapat beberapa motor terparkir, lalu di sisi kiri ada satu bangunan mirip pos kampling yang dihuni oleh seorang laki-laki bertubuh gempal mengenakan bandana hitam dan masker hitam. Mungkin tepatnya teras sebuah rumah yang di beri meja kotak tertutup.
“Met pagi, Pak!” sapa Naraya.
“Mau mendaki, Mbak?” tanya laki-laki yang umurnya sekitar empat puluhan. Matanya mengandung pertanyaan atas kedatangan Naraya tanpa membawa tas rangsel besar.
“Enggak, Pak. Oh, sebentar.” Naraya mengeluarkan kartu nama. “Dari Majalah Online Beringas.” Selepas mengulurkan kartu nama, tangan Naraya mengempal seperti akan meninju laki-laki itu, dan tentu saja orang itu menyambut kepalan Naraya, membuat kedua kepalan tangan itu beradu di udara. “Boleh, kita mengobrol sebentar?”
“Oh ya, silakan!” ucapnya sembari menyuruh Naraya masuk ke dalam area teras. Dia mengarahkan tamunya agar duduk di pembatas teras, sementara dirinya mengubah posisi kursi menghadapi wartawan yang mendatanginya itu. “Tentang mayat kemarin?” tanyanya kemudian seperti sudah tahu arah pembicaraan mereka.
“Sudah banyak media lain yang datang kemari rupanya. Apa saya datang terlambat?” ujar Naraya tergelak.
“Enggak juga,” balasnya. “Setelah ini pasti masih akan ada wartawan yang datang.”
Naraya mengangguk. “Ehm, maaf dengan Bapak atau Mas, siapa?”
“Reno,” sahutnya meregang senyum. Tangan kanannya yang terdapat gelang tali prusik membetulkan maskernya.
“Mas Reno boleh panggil saya, Nara. Kalau Naraya, kayaknya kepanjangan.” Naraya memperkenalkan diri secara verbal. “Oh ya, kemarin Mas Reno jaga di sini?”
Reno menggelengkan kepala. “Teman saya waktu itu yang jaga.”
“Apa wanita yang ditemukan kemarin itu pendaki?” tanya Naraya sebagai pembuka. Mengingat foto Gina yang pernah ke Lawu, sedikit menerbitkan curiga bahwa Gina bisa jadi sengaja mendaki gunung yang kini menjulang di depannya itu.
“Kalau dari data pendakian, tidak ada yang namanya Gina. Sepertinya bukan, dia tampaknya sengaja dibuang di sana,” ucap Reno sambil tangannya menunjuk arah jalur pendakian.
Tidak ada catatan pendaki yang hilang. Mengacu pada analisa bila Gina dipaksa naik Gunung Lawu sebelum kemudian dibunuh. Lagi pula, catatan visum dan autopsi mendeteksi tidak ada tanda kekerasan pada tubuh. Berarti tubuh Gina saat diangkut ke Sumur Jalatunda sudah tidak bernyawa.
“Sebelum itu, apa ada pendaki atau orang yang mencurigakan. Membawa barang yang terlihat tidak wajar? Mungkin tiga hari yang lalu, saat Mas Reno jaga?”
“Tidak ada Mbak,” sahutnya. “Semua normal, pendaki juga tidak ada yang hilang. Semua juga membawa tas mereka tanpa ada yang kurang.”