Merasa cukup dengan wawancara di basecamp, di kantor polisi dan pos polisi terdekat dengan lokasi kejadian, Naraya memutuskan pulang ke Semarang. Belum ada titik terang. Tetapi tidak ada lagi yang dapat dia lakukan di sekitar Cemoro Sewu.
Satu-satunya hal yang akan dia kerjakan selanjutnya adalah menelepon pendaki yang naik Lawu pada hari Jumat hingga Minggu. Untuk itu, Naraya sekarang sedang mencatat nomor kontak yang tertera pada pos pendaftaran yang waktu itu dia foto satu persatu. Setidaknya ada 20 kelompok pendaki yang harus Naraya kontak. Semasa pandemi jumlah pendaki yang naik memang dibatasi. Hanya mendapat porsi 30 persen dari daya tampung gunung tersebut. Itupun dibagi dari enam jalur yang ada. Bagi Naraya jumlah tersebut merupakan satu keberuntungan. Mungkin sama dengan si pembunuh yang akan secara leluasa mengangkut mayat tanpa ketahuan banyak orang.
Selesai menuliskan nomor ponsel di selembar kertas, Naraya mulai menghubungi kelompok pendaki pertama. Lama sambungan telepon yang Naraya rintis tidak mendapat jawaban. Dia pun mengulangi kembali, tetapi masih sama.
Naraya melihat jam dinding yang bertengger tepat lurus di atasnya. Pukul 19.30 WIB. Apa orang ini masih berada di luar? Masih sibuk dengan pekerjaan? Naraya mencoba menelepon lagi. Nada deringnya belum tersahuti. Akhirnya Naraya mengirim pesan via Whatsapp, memperkenalkan diri kemudian langsung menanyakan perihal kejadian mencurigakan selama mereka mendaki.
Tidak berhasil pada daftar pertama, Naraya menghubungi pendaki kedua. Kebetulan orang ini sedang online. Tak lama sebuah suara telah menyambut Naraya.
“Selamat malam,” ucap Naraya langsung memperkenalkan diri.
[Oh, dari Majalah Online Beringas, bagaimana Mbak? Ada yang bisa saya bantu?]
“Mas Vino tahu majalah kami?” tanggap Naraya antusias, karena dari nada bicaranya, Vino, nama pemilik kontak itu sepertinya tahu tentang majalah daring tersebut.
[Iya, Mbak. Saya suka membaca itu. Terlebih bagian Kupas Kasus.]
“Saya yang menulis artikel itu,” Naraya sekalian memperkenalkan diri pada penggemarnya. Siapa tahu setelah mengetahui yang menghubunginya, Vino mau bekerjasama. Mau memberikan banyak keterangan perihal malam pendakian mereka.
[Oh ya? Yah, sayang sekali kantornya di Semarang. Kalau dekat, kita mungkin bisa ketemuan.] ucap Vino terdengar kecewa. Rumahnya di Cilacap, memang sangat jauh dari jangkauan.