“Berarti kamu sudah mencoret Dwian dan Akmal?” tanya Vita pada Naraya yang penasaran dengan hasil penelusuran teman satu wartawannya itu. “Apa tidak terlalu cepat memutuskan hal itu?”
“Yap,” sahut Naraya. “Masalahnya kejadian penemuan mayat serupa juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.” Naraya menatap tajam pada Vita.
“Pembunuh berantai?” Vita menjengit takjub. “Di negara kita?”
“Enggak usah kaget gitu, sebelum ini juga ada beberapa kasus pembunuhan berantai. Setahuku ada enam serial killer di Indonesia. Rian Bogor, tampaknya menjadi kasus terakhir. Baru terjadi belum lama ini.”
Naraya memindai satu persatu pelaku pembunuh berantai yang hidup di negara yang menjunjung tinggi nilai agama. Kasus pertama terjadi pada tahun 1984 – 1994 oleh seorang dukun bernama Ahmad Suradji. Selama sepuluh tahun dia melakukan pembunuhan pada sekitar 42 wanita dari seharusnya tertarget 70 wanita dengan tujuan ingin menjadi sakti.
Rio Martil. Total korban yang telah dia bunuh ada lima orang, yang terakhir bahkan dia lakukan saat telah menjadi narapidana di Lapas Nusakambangan. Rio beraksi dari tahun 1997 hingga 2001. Sementara itu Dukun Usep yang membunuh dalam rentang waktu satu tahun, yaitu di tahun 2007. Dia berhasil menghabisi ke delapan korbannya dengan cara meminumkan racun. Rio Martil dan Dukun Usep diketahui melakukan pembunuhan karena motif uang. Termasuk Ryan Jombang yang mempunyai motif tambahan, asmara cemburu buta. Dia beraksi dari tahun 2006 – 2009.
Kemudian pembunuh berantai yang paling sadis, Baekuni alias Babeh. Masa lalunya yang kelam menjadi andil perilakunya yang menyimpang. Tidak hanya membunuh, Babeh juga menyodomi korbannya yang rata-rata anak berumur 9 – 12 tahun. Total korban ada 41 anak dan baru diketahui tahun 2010.
“Ah ya,” Vita manggut-manggut. “Jadi kita akan menemukan serial killer lagi setelah ini? Keren juga,” Senyum Vita mengembang.
Naraya menatap Vita dengan heran. “Kamu kayak psikopat. Senang dengan pembunuhan.”
“Hah?” Vita mengangakan mulutnya.
“Bukannya prihatin, menunjukkan simpati. Malah girang.”
Vita tertawa keras. Sampai teman yang berada di kubikel lain menyelanya. “Maaf, maaf ....” ucap Vita segera. “Ke lobi?” Vita memberi kode pada Naraya agar mereka melanjutkan pembicaraan di bawah.
Naraya menanggapi dengan mengangguk tanggung. Dia menyambar buku catatannya lalu mengikuti Vita yang sudah terlebih dahulu menjejak ke tangga. Tujuan Vita ternyata bukan lobi, dia terus melangkah keluar membimbing Naraya hingga tiba di bangku panjang tanpa sandaran yang berada di bawah sebuah pohon jambu. Pohon itu terletak di samping kanan gedung.
Vita lalu duduk dengan cara melangkahi bangku itu. Naraya mengikuti, sehingga terlihat seperti keduanya akan melakukan jungkat-jungkit, permainan anak TK.
Naraya meletakkan buku catatan dan ponsel di depannya, pada bangku. Vita sendiri menatap Naraya dengan ekspresi seperti ingin memakan sesuatu yang menggiurkan.