Satu tahun kemudian…
13 November 2022
Naraya memarkir mobilnya di depan sebuah rumah di Jalan Mendung. Rumah berwarna merah kusam dengan atap berbentuk limasan, berada di permukaan tanah yang lebih rendah dari jalan. Sehingga bila ingin melompat ke rumah itu, maka bisa langsung jatuh ke atapnya. Rumah itu terlihat mungil di tengah julangan tembok tinggi di samping kanan-kiri maupun depan rumah. Tiang-tiang penyangga berwarna darah menopang pinggiran teras sebagai pembatasnya.
Ada kesan angker dari rumah itu. Apalagi tetumbuhan yang mengitari merimbun pada setiap sisi rumah. Bila area sebelah kanan menyisakan jarak satu meter dari pagar tembok tetangga, halaman sebelah kanan memiliki luas yang cukup untuk memarkir mobil dengan menyisakan bidang kosong satu meter yang terisi dua buah pohon yang menjulang.
Rumah Gagat terlihat tidak terawat meski halaman rumah bersih dari sampah dedaunan. Naraya masuk melalui dua jeda pagar dari bata tanpa penutup pintu pagar. Pintu masuk yang tentu hanya akan muat satu mobil dengan manuver membelok yang menurut Naraya cukup sulit. Itu akan membuat mobil menukik tajam, sebelum melaju turun menggelinding ke bawah.
Naraya melangkah menuju pintu berwarna cokelat yang catnya telah memudar. Kaca jendela riben besar menggantung di sebelah pintu bersanding dengan jendela nako. Tangan kanan Naraya mengetuk. Sementara tangan kirinya memegang satu kotak kecil yang memuat cheese cake kesukaan Gagat.
Hari ini ulang tahun Gagat. Dan Naraya sengaja ingin memberi satu kejutan untuknya. Kebetulan Minggu ini, pacarnya itu secara tidak terduga absen datang ke Semarang. Padahal rencana semula perayaan ulang tahun kejutan ini akan diadakan di tempat kontrakan Naraya. Berhubung Gagat membatalkan kedatangannya, jadilah Naraya berinisiatif mendatangi kekasihnya itu.
Tidak ada tanda-tanda kedatangan Gagat menuju pintu depan. Saat Naraya menempelkan telinga ke pintu, samar-samar terdengar satu alunan musik yang terduga sebagai musik klasik. Perkiraan Naraya saja, karena dia bukan pemerhati musik jenis itu. Dia hanya tahu kalau musik jenis klasik biasaya berupa instrumental yang megah.
Naraya mencoba mengetuk lebih keras. Tetapi tampaknya suara ketukannya terhempas hentakan berbagai alat musik yang dimainkan bersamaan. Dia pun mengambil ponselnya lalu menelepon Gagat. Nada dering pemanggil terus mendenging. Naraya menelepon lagi, berharap Gagat segera menyadari kalau ponselnya sedang memanggil. Sembari menempelkan ponsel di telinga Naraya melangkahkan kaki ke area kanan rumah yang lebih luas. Mobil jeep Gagat terdampar di sana. Saat melongok ke sisi lain rumah, mengharap ada pintu lain yang bisa diketuk, Naraya menemukan dua buah jendela dengan jarak antara dua meteran.
Dengung nada dering masih menunggu jawaban. Setelah meletakkan kotak kue di teras pembatas, Naraya lalu berjalan mengarah jendela nako terdekat lalu melongok ke dalam. Dari jendela yang terbuka, Naraya bisa melihat ruangan di dalam yang merupakan kamar yang Naraya tebak sebagai kamar Gagat. Kosong. Pacarnya tidak ada di kamar. Penasaran dengan jendela berikutnya, Naraya melangkah ke sana. Hanya tiga tapak terlaksana. Jendela nakonya tertutup. Namun Naraya memaksa ingin melihat ke dalam. Ponsel telah masuk tas, sehingga kedua belah tangannya yang kini bebas bisa menangkup untuk menghalau cahaya yang akan memantulkan pandangan.