Naraya benar-benar pasrah. Dia sama sekali tidak berontak manakala Gagat menggiringnya masuk ke rumah. Jika memang harus mati, biarlah. Lagipula di dunia ini tidak ada lagi orang yang akan menunggu kepulangannya. Gagat yang semula menjadi tumpuan hidupnya justru mengkhianati dengan cara yang tidak terduga. Dia sungguh merasa terbodohi oleh sikap manis Gagat selama ini.
Ah, kenapa dia dulu begitu buta tentang Gagat. Apakah kata hati yang mendengung agar jangan terlalu dekat, jangan terlalu main hati dalam bersahabat, atau berkasih membuatnya tidak mengenal siapa Gagat. Bukankah dia sering menuliskan profile pembunuh, mulai dari latar belakang keluarga hingga, latar belakang sekolah, hingga kehidupan bersosialnya bagaimana.
Gagat terus menariknya menuju ruang tamunya yang terdapat sebuah risban dengan meja kotak kecil. Ruang tamu yang sempit berukuran 2 x 3 meter. Musik klasik semakin terdengar akan meruntuhkan dada Naraya. Setelah itu kaki Naraya telah memasuki satu area luas yang hampir kosong. Satu buah meja, kalau boleh disebut sebagai meja makan dengan dua kursi. Kulkas dua pintu kecil dan satu kotak yang Naraya tahu itu biasanya untuk display es krim atau makanan frozzen food di supermarket.
Saat kaki melaju menuju kamar yang terduga sebagai kamar Gagat. Naraya mencoba memberontak. Tetapi cengkeraman tangan Gagat sungguh kuat. Lalu satu tatapan yang menyergap, menghentikan geliat tangan Naraya yang ingin dilepaskan.
“Duduklah,” Gagat mendudukkan Naraya di ranjang dengan seprai warna abu-abu. “Aku ambilkan air minum dulu.”
Naraya tergugu, menatap kaca di lemari pakaian yang berada di depannya. Dia seperti telah terkena hipnotis. Pandangannya kosong.
Pada saat seperti ini seharusnya dia bisa menghambur keluar ketika Gagat keluar dari kamar tanpa mengunci pintunya. Tetapi itu tidak Naraya lakukan. Bahkan ketika dia punya kesempatan menelepon untuk meminta bantuan. Naraya memilih melewatkan kesempatan itu.
Desah panjang terdengar. Tubuhnya kemudian melayu seiring kening yang tertopang jari-jari tangan.
Pintu kamar terdengar terbuka. Naraya masih menunduk dengan tangan menyangga kepala.
“Minum dulu,” ucap Gagat seiring derit suara kursi yang ditarik menuju depan Naraya. Gagat menyentuhkan pinggir gelas ke salah tangan Naraya. Perlahan kepala Naraya mendongak. Meraih gelas tanpa gagang, lalu menegaknya sekali habis.
“Itu tadi benar tubuh manusia?” Naraya meminta penjelasan.
“Benar, penglihatanmu tidak salah. Aku sangat berharap, pertukaran kali ini berhasil.”
“Pertukaran?”
“Kamu ingat, kalau aku punya adik perempuan yang meninggal?”
Naraya mengangguk.
“Dia itu, menjadi tumbal Gunung Lawu. Gunung itu telah merenggutnya. Keluargaku satu-satunya telah dia ambil. Aku jelas tidak terima. Padahal setelah bekerja, aku berjanji akan membelikan rumah untuknya. Kamu tahu? Rumah ini aku beli untuknya. Rumah dengan halaman yang luas dengan pohon buah yang mengitarinya.” Suara Gagat terdengar tercekat. “Tapi, kenapa gunung itu mengambilnya?” Terselip jeda, “Karena itu, aku ingin gunung itu mengembalikan adikku. Tentu tidak cuma-cuma. Aku tahu diri, di dunia ini tidak ada yang gratis. Maka itu, sebagai bayarannya aku serahkan tubuh lain yang punya tanggal lahir sama, penampakan tubuh yang sama, potongan rambut yang sama. Dan persembahanku selama ini, masih belum dia terima rupanya.” Terdengar desah Gagat.
Naraya masih mendengarkan penjelasan tidak masuk akal dari laki-laki pembunuh di depannya.