Sang Pemangsa di Gunung Lawu

Xie Nur
Chapter #48

Summary #3

Dwian mengendarai mobilnya dengan kecepatan melebihi 70 km perjam. Vita yang duduk di sisinya memegang kuat lengkungan satu genggaman di kiri atasnya. Tidak ada percakapan yang mengiringi. Bahkan Vita merasa sedang bermimpi, bermain detektifan bersama Naraya. 

Saat dirinya sedang asyik menonton animasi Conan tiba-tiba Naraya mengirimkan satu lokasi yang ada di Surakarta. Sempat bingung, malah tak mengacuhkannya, karena menganggap itu bukan sesuatu yang penting. Lagipula dia sedang asyik dengan Conan yang sedang memecah suatu kasus. Namun, tak lama kemudian dering telepon mengganggunya lagi. Dari Naraya. Tidak ada kata-kata sahutan yang terdengar. Bunyi gemerisik menyahuti. berlanjut musik klasik yang mengisi telinganya. Hampir saja Vita mematikan ponsel karena mengira Naraya tidak sengaja meneleponnya. Mungkin, ponsel temannya itu tergesek tas dan menekan tombol telepon dengan sendirinya.

Akan tetapi kemudian terdengar suara Naraya di antara deru musik yang berkejaran di latar belakangnya. Ada kata-kata membunuh, yang membuat Vita penasaran dengan kelanjutannya. Dia pun mengeraskan speaker telepon, agar dapat mendengar dengan jelas tanpa harus menempelkan ke telinga.

Jantung Vita sontak berdebar. Percakapan itu terus mengarah pada topik pembunuhan gadis-gadis di Gunung Lawu. Vita gelisah, namun, kemudian dia perlu melakukan sesuatu. Dia pun menekan tombol rekam untuk menyimpan suara yang terdengar dari ponselnya. Agak terlambat, sih, tapi untunglah bagian yang menyatakan bahwa laki-laki yang sedang berbicara dengan Naraya adalah pelakunya sempat tertangkap perekam.

Vita kembali gelisah, apakah, nyawa Naraya sekarang sedang terancam. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menelepon polisi segera, tetapi itu lokasi yang jauh. Vita mondar-mandir sambil menggigiti kukunya. Tiba-tiba sambungan telepon mati. 

“Na!” Vita memanggil Naraya seolah mereka memang saling mendengar satu sama lain. Dengan tangan gemetar, Vita mengulir ponselnya. Siapa yang akan dia hubungi sekarang? Pikirannya justru ikut berputar naik turun seiring guliran nomor kontak yang tidak menemukan orang yang tepat. 

Saat tangannya kembali mengulir ke atas, satu nama Reni memberinya satu titik terang. Segera dia menekan tombol telepon pada nama tersebut. Cukup lama Vita menunggu hingga sambungannya terangkat.

“Ren, bisa kirimi aku nomor Dwian?” tanya Vita tanpa basa-basi.

“Untuk apa?” Nada suara Reni terdengar curiga.

“Darurat, please!” pinta Vita. “Menyangkut hidup mati seseorang.”

“Siapa? Kenapa harus Dwian.”

“Tolong Ren, ini benar-benar darurat. Detailnya nanti aku ceritakan setelah ini.”

“Oke.”

“Segera ya.” Vita lalu mematikan sambungan teleponnya. Berharap Reni akan segera mengirimkan nomor Dwian yang mendadak muncul di benaknya. Vita pikir, dia harus menghubungi orang yang punya kaitan langsung dengan kasus tersebut.

Untunglah Dwian cepat dapat dihubungi meski nomornya tidak terdaftar di kontaknya. Begitu mendengar kalimat Naraya bersama pembunuh Gina, laki-laki itu langsung meminta bagi lokasi Vita untuk menjemputnya.

Dan, di sinilah mereka sekarang berada. Dalam mobil dengan kecepatan yang membuat Vita berasa sport jantung lagi.

Lepas dari tol Vita bisa sedikit bernapas lega. Lalu lintas yang cukup ramai, membuat Dwian sering menginjak pedal rem dan mengurangi kecepatannya. Lagipula dia juga harus melihat jalur yang harus dia tempuhi agar bisa tiba di lokasi yang Naraya bagikan.

“Perlukah kita menghubungi polisi dulu?” tanya Vita saat mereka melintasi satu pos polisi.

“Urusan dengan mereka bisa belibet. Nanti harus tanya jawab dulu, sebelum menuju lokasi. Nanti saja, kalau kita sudah memastikan Naraya selamat,” sahut Dwian yang menurut Vita banyak benarnya.

Lihat selengkapnya