Enam bulan kemudian...
Jalur dari bebatuan yang tertata rapi menemani langkah kaki Naraya. Berkali-kali dia menghirup napas dalam. Seakan tidak puas bila hanya menghisap kesegaran sekilas tarik lalu hembuskan. Memang, pepohonan yang menghiasi sisi-sisi jalan belum terlalu rapat. Namun, kesegarannya telah terasa. Naraya seperti bisa mencium aroma pohon yang hangat dan misterius.
Dalam kesempatan kali ini, Naraya cukup berterima kasih pada Gagat yang selalu menekankan; bila ingin mendaki latihlah fisik terlebih dahulu. Minimal lari pagi satu kilometer setiap hari. Naraya mempraktekkan itu, sebagai kenangan terakhir dari laki-laki yang kini masih menunggu proses persidangan. Tuntutan hukuman mati sudah pasti menantinya.
Jalur menuju Pos 1 masih tergolong landai. Meski demikian napas tetap saja terasa tersengal, akibat beban tas carrier. Beruntung Naraya memiliki teman jalan dalam pendakian ke Lawu ini. Seorang pendaki perempuan yang dulu pernah dia hubungi berkenaan dengan penemuan mayat kala itu, bersedia menjadi pemandu langkah Naraya menapaki jejak kematian Gina dan saudara kembarnya dulu.
Naraya melihat jam tangannya. Pukul 08.30 WIB. Tadi rombongan yang terdiri dari tiga orang, Naraya, Pia dan seorang teman Pia, Nando yang juga sebagai porter mulai jalan tepat pukul setengah delapan. Mereka semalam menginap di basecamp, sebelum menempuh perjalanan di pagi hari.
Pos Wes-Wesan dengan penanda warung yang berdiri di sisi kanan-kiri masih terlihat tutup. Untung tadi sebelum berangkat mereka sudah menyempatkan sarapan terlebih dahulu, sehingga setelah dirasa cukup beristirahat, ketiganya mulai merayap naik kembali menuju Pos II.
Naraya sempat mengerucutkan mulut, manakala jalan berbatu terlihat semakin menjulang di depan. Dia pun berhenti untuk mengambil napas. Memandang sekeliling yang sudah berupa hutan yang sebenarnya.
“Ayo, semangat!” Pia menepuk tas rangsel Naraya lalu mendahului jalan. Gadis kecil berkerudung itu menancapkan kakinya ke batuan dengan ringan. Umurnya dua tahun lebih muda dari Naraya. Tetapi pengalaman pendakiannya seolah melebihi jauh umur Naraya.
Pia itu juga seorang Youtuber. Konten yang dia rambahi tentu tentang pendakian gunung. Subscriber-nya lumayan banyak. Ulasan tentang jalur pendakian, estimasi waktu, hingga segala hal terkait jalur pendakian, berbagai mitos yang menyertai setiap jalur dia ungkapkan. Penyampaiannya juga terdengar santai dan ringan. Sudah seperti reporter jejak petualang di televisi saja, si Pia ini.
Kini posisi jalan yang tercipta, Pia, Naraya, dan Nando. Tak terasa kaki telah melangkah selama satu setengah jam. Sebuah shelter yang menepi di sisi tebing berhadapan dengan warung di depannya.
“Bagaimana?” tanya Pia saat mereka beristirahat di pinggiran shelter, karena dalam shelter ada pendaki lain yang sedang beristirahat makan.
“Oke!” sahut Naraya mengacungkan ibu jari pada Pia yang duduk di sebelahnya.
“Setelah ini lebih menantang lagi,” komentar Nando yang berdiri berkacak pinggang menghadap jalur setelah melepaskan carrier-nya.
“Itu pasti berat, kan?” tunjuk Naraya pada carrier Nando yang padat muatan.
“Yah, lumayan.” sahut laki-laki berkulit sawo matang, bermata kuat dan senyum yang lumayan manis.
Naraya bahkan sempat menduga antara Pia dan Nando ada satu hubungan yang spesial, meski keduanya mengaku hanya berteman.
“Biasanya kami juga naik berempat, Kak.” kata Pia. “Ada Rizki yang jadi tukang foto dan tukang rekam video. Terus Bang Difan sebagai leader penunjuk jalan. Berhubung Lawu sudah sering kami datangi, mereka berdua absen. Ada urusan katanya.”
“Kamu cewek sendirian?” tanya Naraya.
Pia mengangguk. “Udah biasa, saling jaga, saling percaya.”
“Kami sudah vaksin, lho.” imbuh Nando sedikit tidak nyambung. “Vaksin lengkap, satu, dua, tiga, plus vaksin antiganas, anti rabies dan anti radiasi.”