Sebuah lampu tergantung, satu-satunya penerangan di ruangan gelap itu, bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri, memperlihatkan betapa lembab dan pengapnya ruangan itu.
Tak ada apapun di ruangan itu, selain sebuah kursi yang sedang diduduki oleh seorang pria, dan sebuah meja di depannya. Meja itu tepat persis di bawah lampu yang bergoyang-goyang.
Dua orang polisi berbaju preman sedang menghajar pria yang sedang duduk di kursi itu. Membuat wajah pria itu babak belur hingga mengucurkan darah.
Kedua polisi itu sebenarnya tak tampak lebih kuat dari pria yang dihajarnya. Namun karena kedua tangan pria itu masih terborgol sehingga dia tak mampu melawan.
Lalu pintu terbuka. Seorang pria paruh baya dengan rambut sedikit beruban memasuki ruangan itu dengan membawa sebuah kursi.
Kursi itu adalah sebuah simbol bahwa mereka menggunakan cara yang lebih halus dari sebelumnya.
Pria itu hanya mengerling ke kedua polisi preman tadi.
"Siap!" seru kedua polisi itu sambil memberi hormat, lalu segera keluar dari ruangan. Tampaknya pria itu bukanlah polisi biasa. Dari usianya kemungkinan dia adalah seorang perwira, pikirnya.
Kini tinggal mereka berdua di ruangan itu.
Pria yang babak belur tadi mengambil kesempatan untuk mengatur napasnya, saat perwira itu meletakkan kursi yang dibawanya di belakang meja, lalu dia duduk tepat di hadapan pria babak belur itu.
Perwira itu merogoh saku dalam jaket kulit hitamnya dan mengeluarkan sebungkus rokok. "Kau mau?" katanya menawari.
Pria babak belur itu tak merespons.
Perwira polisi itu mengambil sebatang lalu disulutnya sendiri. Sekali-dua kali, dia menghisap rokonya, sebelum bertanya, "Apa kabar, Mozel?"
Pria itu terkejut. Dia tak menyangka perwira polisi itu tahu namanya. Siapa sebenarnya dia?
Perwira polisi itu menghisap rokoknya lagi, lalu bertanya lagi, "Bagaimana kabar Harim?"
Pria babak belur itu terkejut lagi. Bagaimana dia bisa tahu nama ibunya? Ia berpikiran bahwa perwira polisi ini adalah seorang negosiator handal dan berusaha ingin memancingnya. Dia memutuskan untuk diam dan tidak ingin terpancing.
Perwira polisi itu menghela napas.
"Namamu Mozel Fauzta, lulusan kepolisian angkatan 2002, anak satu-satunya dari seorang polisi yang bernama Mustofa dengan Harim, Lalu kau masuk ke satuan penyelidik tahun 2012 dan dimutasi ke daerah terpencil beberapa bulan yang lalu."
Pria itu semakin terkejut dan tak bisa menahan rasa keingintahuannya, lantas dia bertanya, "Siapa kau?" sambil menatap tajam ke arah perwira polisi itu.
Perwira polisi itu menghisap rokoknya lagi, "Aku adalah teman ayahmu," jawabnya, lalu mengeluarkan asapnya dari paru-parunya ke udara bebas, "Dulu," lanjutnya.
Pria babak belur itu tak puas dengan jawaban singkat itu. Berharap lawan bicaranya itu bercerita lebih banyak lagi.
"Dulu kami rekan satu tim di kesatuan penyelidik," jawabnya, "Sepertimu," lanjutnya, "Tapi ayahmu menempuh jalan yang salah, sehingga dia dianggap pengkhianat negara," tambahnya dengan sedikit emosional.
Dia menghisap rokoknya lagi supaya emosinya mereda dan berkata, "Memang benar," lanjutnya, "Buah tak jatuh jauh dari pohonnya."
Mozel berusaha menahan emosi. Kedua tangannya sudah gemetar hebat saking marahnya. Tapi dia tahu, itulah tujuan perwira polisi itu. Dia tak ingin terpancing.
"Aku sangat kecewa pada ayahmu," lanjutnya, "Kenapa dia sampai tega mengkhianati kami."
Mozel berusaha menahan emosi.
"Jadi, kenapa kau merampok?" tanya perwira polisi itu, "Kenapa kau hanya menyasar rumah-rumah para pejabat yang ternyata bersih?"
Mozel geram..
"Apa kau punya motif tersembunyi?" tanya perwira polisi itu.
Mozel berusaha menahan emosinya.
"Apa kau ingin memberontak?" seru perwira itu, "Sama seperti yang dilakukan ayahmu dulu?"
Mozel terkekeh.
Membuat perwira itu kesal.
"Aku jadi bertanya-tanya," kata Mozel, "Apa benar kau adalah teman ayahku?"