Sore itu sangat cerah, Mozel kecil sedang bersiap ke Sekolah. Dia tengah dibantu ibunya mengenakan seragam miliknya. Keluarganya memang tergolong keluarga yang sederhana.
"Mozel!" panggil dua orang temannya dari luar rumah.
"Cepat, Bu! Alex dan adiknya sudah datang," seru Mozel.
"Iya, Nak, pakai topimu dulu," jawab ibunya sembali membantu mengenakan topi merah ke kepala putra semata wayangnya.
"Mozel, cepat!" seru Alex lagi.
"Iya!" jawab Mozel setelah mengambil tas ranselnya, "Mozel pergi dulu ya, Bu,"
"Iya," jawab ibunya dengan senyuman.
Namun sebelum melewati pintu, Mozel menoleh pada ibunya, "Nanti Ayah jadi belikan Mozel sepeda baru, kan, Bu?" tanyanya dengan penuh pengharapan.
Ibunya mengangguk sambil tersenyum.
Namun sepulang dari Sekolah, Mozel tak mengerti kenapa ada mobil ambulance di depan rumahnya. Beberapa tetangga melihat kedatangan Mozel dengan penuh rasa iba.
Mozel ingin melihat ada apa di rumahnya. Dia segera masuk ke rumahnya yang ternyata penuh dengan teman-teman ayahnya. Semuanya berseragam biru tua, sama seperti seragam yang dikenakan ayahnya tadi pagi.
Namun dia tak melihat ayahnya. "Ayah?" panggilnya.
Abdillah memandangi seluruh wajah para pria dewasa berseragam itu. Tak ada satupun yang dikenalinya. Dan semuanya tampak bersedih, bahkan ada yang menangis. Tak ada sosok ayahnya di sana. "Ayah?" panggilnya lagi.
Lalu dia melihat ada beberapa orang di dalam kamar ibunya. Mozel mengira ayahnya pasti sedang bersama ibunya di kamar. "Ayah, mana sepeda baruku?" seru Mozel menyeruak masuk ke dalam kamar.
Tapi yang dilihatnya hanyalah ibunya yang sedang menangis.
"Ibu?" panggil Mozel tak mengerti, "Ibu menangis?"
Ibunya terkejut melihat Mozel kecil di dekatnya.
"Ibu kenapa nangis, Bu?" tanya Mozel, "Mana ayah?" lanjutnya, "Ayah janji bawain Mozel sepeda baru hari ini, kan, Bu?" tagihnya.
Ibunya menangis lagi sambil menyodorkan kedua tangannya ke arah putranya. Berharap putranya datang dan memeluknya.
"Kemari, Nak," panggil ibunya dan langsung dituruti.
Harim memeluk putranya erat-erat lalu menangis lagi.
"Ibu kenapa menangis?" tanya Mozel lagi.
"Karena Ayahmu sudah tiada, Mozel," jawab ibunya.
Seketika itu juga Mozel menyadari di atas ranjang ada tubuh ayahnya yang telah terbujur kaku, tertutup kain berwarna putih.
Mozel masih tak mengerti apa yang sedang terjadi. Kenapa ayahnya tidur saat banyak teman-temannya datang? pikirnya.
***
Beberapa orang berseragam biru tua dengan wajah sedih tampak memadati rumah dinas Mustofa, salah seorang anggota kepolisian yang dinyatakan tewas tertembak saat bertugas.
Terlihat seorang wanita menangis sejadi-jadinya di samping jenazah, sambil memeluk putra semata wayangnya yang terdiam mematung, tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Seorang pria berseragam mendekat padanya. Dia berjongkok supaya bisa berbicara dengannya.
"Hai," sapanya sambil duduk berjongkok di dekat Mozel kecil. "Ayahmu sempat bilang pada paman kalau Mozel pengen sepeda baru," tambahnya, "Benar begitu, Mozel?" tanyanya.
Mozel hanya terdiam sambil terus menatap teman ayahnya itu.
Pria itu kemudian tersenyum. "Jangan khawatir," kata pria itu tiba-tiba, "Besok sepeda Mozel yang baru akan datang," lanjutnya sambil mengusap-usap kepala Mozel, namun lebih tepatnya, mengacak-acak rambut Mozel.
Setelah proses pemakaman usai, para pelayat berangsur-angsur pulang.