"Nicholas! Nic! Nic! Nicholas!" Sorak-Sorai sebagian anak perempuan pendungkung team sepak bola SMA Harapan Bangsa saat melihat lelaki bernama punggung Nicholas berhasil merebut bola dari team lawan.
"Hei, hallo! Permisi." Seseorang menepukkan kedua tangannya tepat di hadapanku. Lagi-lagi untuk sekian kalinya. Aku jadi sasaran empuk pak Togar.
"Reina. Ini pertandingan sepak bola, bukan tempat meditasi." Oceh pak Togar.
"BoyWill! Boy Will! BOY!" Teriakku bagaikan fans fanatik Boy. Pak Togar setengah kaget dan sebagian mata para penonton mengarah padaku.
"Di sana ada 11 pemain inti dan 5 pemain cadangan. Kenapa hanya Boy saja yang kamu semangati?" Lanjut pak Togar.
"Goooool!" Tiba-tiba teriakkan pendukung SMA Harapan Bangsa membuat guru killer tersebut tercengang sekaligus berhenti mengoceh.
"Gol?" Pak Togar tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya sambil menepuk bahuku pelan.
"Permisi, pak." Aku buru-buru pergi menjauh dari pak Togar yang masih terperangah akan gol pertama yang baru saja dicetak oleh Boy.
"Reina." Emalia menarikku ke arahnya. Aku pun berdiri tepat di sampingnya.
"Kalau aku tahu kamu mau ke sini, tadi aku bisa jemput."
Hari ini pertandingan sepak bola antar sekolah. Biasanya, memang aku enggak pernah mau datang nonton pertandingan sepak bola. Jangan pernah tanya alasannya. Kalau diceritain bisa panjang x lebar.
"Gooooool!" Sekarang giliran Nic yang mencetak gol. Score sementara 2-0.
Nicholas atau lebih dikenal dengan panggilan Nic adalah bintang sekolah di sekolah kami. Tidak hanya dikagumi oleh para wanita tapi juga para guru. Nic dan Boy sama-sama dinobatkan sebagai bintang sekolah. Namun ke-pamoran Nic sedikit lebih bersinar daripada Boy.
"Yuhuy! Kak Nic!" Teriak Emalia sambil bertepuk tangan. "Biasanya, team kita enggak pernah mencetak gol secepat ini, Rei." Emalia melompat kecil kegirangan.
Sorak-sorai para pendukung terdengar antusias. Berharap sang idola bisa mencetak gol berkali-kali sehingga menjadi pemenang. Mendengar suara para pendukung, Nic dan Boy tersenyum bangga.
Pertengahan pertandingan, jari telunjuk Nicholas mengarah padaku. Ekspresinya seperti ingin menyerang mangsa. Sejak awal kami memang tak akur. Tentu saja, Nic yang mulai deluan. Semua bermula dari pinjam meminjam buku, akhirnya berujung perseteruan. Aku bukan tipe orang yang suka ribut. Lebih baik diam daripada adu mulut. Capek soalnya kalau ngeladenin orang yang sepertinya sengaja cari ribut sama kita. Akan ku ceritakan kronologi perselisihan kami di lain waktu.