Musik menggema di area ballroom dance dengan indah. Seorang wanita dengan pakaian putih menari dengan luwes bak angsa putih, dia mengangkat kakinya, terkadang dia berputar riang, senyumnya mengembang, tanganya merentang lemah gemulai menyapu udara yang memenuhi ballroom dance miliknya.
Tak dia hiraukan keringat yang bercucuran di dahi dan seluruh tubuhnya, dia hanya merasakan bagaimana kebahagiaan hangat menyapa hatinya.
Dia jatuh cinta pada setiap musik indah yang ditangkap gendang telinganya. Dia jatuh cinta pada setiap gerak tariannya. Dia jatuh cinta pada setiap nada yang menyentuh setiap indera miliknya. Darahnya berdesir hebat ketika setiap alunan nada itu menyapa dirinya tanpa permisi, seperti cinta pertama.
Dia masih terus mengalunkan jemarinya mengikuti irama musik tanpa henti. Dia dan musik sudah menjadi satu kesatuan, musik seolah membawanya masuk ke dalam ruang-ruang yang tak dapat dijamahnya sebagai manusia. Dia seolah seperti peri yang memiliki sayap, terbang di antara ruang dengan kaki-kakinya.
Jari-jemarinya mengayun seperti meraup udara. Sesekali dia menengadah menatap atap ballroom yang terdapat lampu megah klasik. Musik berputar mencapai klimaksnya, setiap dentumannya membuat jantung wanita itu berpacu semakin cepat, dan membuat dia berputar semakin cepat pula dengan wajah menengadah merasakan sensasi nikmatnya degup jantung berpacu seolah menemui cinta pertamanya, musik dan tarian free style miliknya.
“Huh. Huh.” Embusan napasnya terdengar berat setelah dia menuntaskan beberapa musik yang telah mengiringi tariannya di ballroom klasik itu.
Lelah? Tentu, dia sangat lelah. Apalagi dia sudah menghabiskan beberapa lagu untuk menemaninya menari. Wanita yang seperti angsa putih itu pun lantas melangkahkan kakinya mengambil handuk putih yang sudah tersedia. Diusapnya keringat yang bercucuran di pelipisnya, rambutnya yang terikat pun bahkan sudah basah karena keringat.
“Minumlah! Kamu pasti lelah.”
Satu suara membuat wanita itu terperanjat. Dia lantas berjalan ke arah suara yang tepatnya berada di ambang pintu. Dilihatnya laki-laki yang duduk di kursi roda dengan membawa sebotol minuman dingin di tangannya.
“Rangga? Se—sejak kapan kamu di sini?”
Rangga namanya, laki-laki yang duduk di kursi roda dengan membawa sebotol minuman dingin itu. Rangga bukannya menjawab apa yang ditanyakan oleh wanita itu, dia malah terkekeh.
“Bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku sudah berada di sini sejak beberapa saat yang lalu? Emm…” Rangga tampak berpikir sejenak dan menggerling kepada wanita yang kini duduk di hadapannya tersebut.